BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sepanjang sejarah banyak kepercayaan tidak berdasar mengelilingi
menstruasi. Memang, pandangan dan pendapat mengenai aspek fisiologi wanita ini
mengalami perubahan perlahan-lahan. Diharapkan, kemajuan ilmiah selama beberapa
dekade terakhir ini, yang telah menunjukkan hubungan dinamis antara pituitari
dan hormon gonad serta sifat siklik dari proses reproduktif normal, akan
menghasilkan pemahaman baru. Perubahan-perubahan hormon, berkorelasi dengan
kejadian morfologis dan kejadian autokrin-parakrin dalam ovarium, menempatkan
koordinasi sistem ini sebagai salah satu kejadian yang paling menakjubkan dalam
biologi.
Pada wanita terdapat siklus menstruasi. Siklus ini
berkaitan dengan pembentukan sel telur dan pembentukan endometrium. Menstruasi
merupakan suatu tanda bahwa alat kandungan menunaikan faalnya. Panjang siklus
haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid yang
baru.
Biasanya, periode pertama terjadi sekitar usia 12 atau 13
tahun. Namun, beberapa anak perempuan mulai mengalami menstruasi pada usia 8
atau 9 tahun, sedangkan yang lain mungkin lebih lama sekitar umur 15 atau 16
tahun. Jika menstruasi tidak terjadi padausia 16 tahun, sebaiknya ia
segera menghubungi dokter untuk evaluasi. Menstruasi biasanya dimulai
sekitar 2 tahun setelah payudara mulai berkembang dan diikuti dengan
perkembangan pinggang dan rambut halus disekitar
vagina.
Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus.
Panjang siklus menstruasi yang normal atau yang dianggap sebagai siklus klasik
ialah 28 hari, tetapi hanya beberapa perempuan yang mengalami siklus
klasik. Lebih dari 90% perempuan mempunyai siklus menstruasi antara 24 sampai
35 hari. Perbedaan siklus ini dipengaruhi oleh hormon reproduksi.
Lama menstruasi biasanya antara 3-6 hari, ada yang 1-2 hari
dan diikuti darah yang sedikit dan ada yang sampai 7-8 hari. Cairan menstruasi
terdiri dari autolisis fungsional, exudat inflamasi, sel darah merah dan enzym
proteolitik
1.2.Tujuan
- Untuk mengetahui regulasi endokrin dalam siklus menstruasi
- Untuk mengetahui fase folikuler
- Untuk mengetahui fase ovulasi
- Untuk mengetahui fase luteal
- Untuk mengetahui fase transisi
- Untuk mengetahui siklus menstruasi normal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk memahami siklus menstruasi normal, membagi siklus kedalam tiga
fase: fase folikuler, ovulasi, dan fase luteal. Mempelajari masing-masing fase
ini, mengkonsentrasikan pada perubahan-perubahan dalam hormon-hormon ovarium
dan pituitari, apa yang mengatur pola perubahan hormon, dan dampak hormon-hormon
ini pada ovarium, pituitari, dan hipotalamus dalam mengatur siklus menstruasi.
2.1. Fase Folikuler
Selama fase folikuler terjadi rangkaian kejadian yang teratur yang
memastikan terdapat folikel dalam jumlah yang tepat yang siap mengalami
ovulasi. Dalam ovarium manusia hasil akhir dari perkembangan folikel ini
(biasanya) adalah satu folikel matur. Proses yang terjadi selama 10-14 hari ini
menunjukkan gambaran serangkaian kerja hormon dan peptida autokrin-parakrin
pada folikel, menyebabkan folikel yang akan mengalami ovulasi mengalami masa
pertumbuhan awal dari suatu folikel primordial melalui berbagai tahap folikel
preantral, antral, dan preovulatorik.
A. Folikel Primordial
Sel-sel germ primordial
berasal dari dalam endodermis yolk sac,
alantois, dan hindgut embrio,
dan pada masa gestasi 5-6 minggu, sel-sel tersebut telah bermigrasi ke rigi
genitalia. Pembelahan mitotik cepat dari sel-sel germ dimulai pada kehamilan
6-8 minggu, dan pada kehamilan 16-20 minggu, tercapai jumlah oosit yang
maksimal: total 6-7 juta pada kedua ovarium. Pembentukan folikel primordial
dimulai pada pertengahan masa kehamilan dan selesai segere setelah melahirkan.
Folikel primordial tidak bertumbuh dan terdiri dari sebuah oosit, yang berhenti
pada tahap diploten dari profase miotik, dikelilingi oleh sebuah lapisan
sel-sel granulosa berbentuk batang.
Sampai jumlahnya habis, folikel-folikel primordial mulai bertumbuh dan
mengalami atresia dibawah semua keadaan fisiologis. Pertumbuhan dan atresia
tidak dihentikan oleh kehamilan, ovulasi, atau masa anovulasi. Proses dinamis
ini berlanjut pada semua usia, termasuk pada masa bayi dan sekitar menopause.
Dari jumlah maksimalnya pada kehamilan 16-20 minggu, jumlah oosit akan menurun
tanpa bisa dihentikan. Kecepatan penurunan proporsional dengan jumlah total
yang ada; karena itu, penurunan yang paling cepat terjadi sebelum melahirkan,
menyebabkan penurunan dari 6-7 juta menjadi 1-2 juta pada saat melahirkan dan
menjadi 300.000 sampai 500.000 pada masa pubertas. Dari reservoir besar ini, sekitar
400 sampai 500 folikel akan mengalami ovulasi selama masa reproduktif seorang
wanita.
Mekanisme untuk menentukan folikel yang mana dan berapa banyak yang akan
bertumbuh pada suatu hari tertentu tidak diketahui. Jumlah folikel dalam tiap
kohort yang bertumbuh tampaknya bergantung pada ukuran pool residual dari
folikel-folikel primordial inaktif. Mengurangi ukuran pool (misalnya dengan ooforektomi unilateral) menyebabkan
folikel yang tersisa akan mengalami redistribusi availabilitasnya dengan
berlalunya waktu, namun hilangnya oosit dalam jumlah yang cukup besar pada masa
reproduktif lanjut saat jumlah total sudah berkurang dapat menyebabkan
menopause dini.
B. Atresia (Apoptosis)
Folikel yang akan mengalami ovulasi ditarik pada beberapa hari pertama
siklus. Total lamanya waktu untuk
mencapai status praovulatorik kurang lebih 85 hari. Peningkatan FSH merupakan
hal penting dalam menyelamatkan sebuah kohort folikel dari atresia, hal yang
biasanya dialami kebanyakan folikel, dan akhirnya memungkinkan sebuah folikel
dominan untuk tampil dan masuk kedalam jalur untuk mengalami ovulasi. Disampping itu, dipertahankannya
peningkatan FSH ini untuk waktu yang tertentu adalah penting. Tanpa ada dan
persistensi peningkatan kadar FSH dalam sirkulasi, kohort akan mengalami proses
apoptosis, kematian sel fisiologis terprogram untuk mengeliminasi kelebihan
sel.
Hampir semua folikel ini
mengalami apoptosis; hanya folikel-folikel yang terpapar pada peningkatan
stimulasi FSH karena kesiapan folikel-folikel tersebut untuk memberi respon dan
peningkatan FSH selama masa transisi fase luteal-fase folikuler yang memiliki
nasib baik untuk berkompetisi untuk dipilih sebagai sebuah folikel yang
dominan.
Tanda-tanda nyata pertama perkembangan folikuler adalah peningkatan
ukuran oosit, dan sel-sel granulosa menjadi berbentuk lebih kuboid dan bukan
skuamous. Pada saat yang bersamaan ini, terjadi gap junction kecil antara sel-sel granulosa dan oosit. Gap junction adalah saluran yang jika
terbuka akan memungkinkan pertukaran zat gizi, ion, dan molekul-molekul
regulatorik. Karena itu, gap junction
bertindak sebagai jalur untuk pertukaran zat gizi, metabolit, dan sinyal antara
sel-sel granulosa dan oosit. Pada satu arah, inhibisi maturasi akhir oosit
(sampai peningkatan tajam LH) dipertahankan oleh faktor-faktor derivat dari
sel-sel granulosa. Pada arah yang lain, proses pertumbuhan folikuler
dipengaruhi oleh faktor-faktor regulatorik yang berasal dari dalam oosit.
Komunikasi diantara sel-sel granulosa dan antara oosit dan sel-sel
granulosa bergantung pada pertukaran molekul-molekul kecil melalui gap junction. Disamping itu, FSH
mempertahankan satu saluran terbuka dalam gap junction, jalur yang ditutup oleh LH. Setelah ovulasi, gap junction sekali lain memiliki
peranan penting dalam korpus luteum, dimana fungsi gap junction diregulasi oleh oksitosin yang diproduksi secara lokal.
Dengan multiplikasi sel-sel granulosa kuboidal (sampai kurang lebih 15
sel), folikel primordial menjadi folikel primer. Lapisan granulosa dipisahkan
dari sel-sel stroma oleh suatu membran basement yang disebut lamina basalis.
Sel-sel stroma disekitarnya akan berdiferensiasi menjadi lapisan-lapisan
konsentrik yang disebut teka interna (paling dekat dengan lamina basalis) dan
teka eksterna (bagian luar). Lapisan teka tampak jika proliferasi granulosa
memproduksi 3-6 lapisan sel-sel granulosa.
C. Folikel Preantral
Setelah pertumbuhan mengalami percepatan, folikel akan masuk kedalam
tahap preantral bersamaan dengan membesarnya oosit dan akan dikelilingi oleh
sebuah membran, yaitu zona pelusida. Sel-sel granulosa akan mengalami
proliferasi multilapis bersama dengan organisasi lapisan teka dari stroma
disekitrnya. Pertumbuhan ini bergantung pada gonadotropin dan berkorelasi
dengan peningkatan produksi estrogen. Studi-studi molekuler menunjukkan bahwa
semua sel granulosa dalam folikel matur merupakan derivat dari 3 sel prekursor
saja.
Sel-sel granulosa dari folikel preantral memiliki kemampuan mensintesis
ke-3 kelas steroid; namun, diproduksi jauh lebih banyak estrogen daripada
andogren ataupun progestin. Suatu sistem enzim aromatase bekerja mengubah
androgen menjadi estrogen dan merupakan sebuah faktor yang membatasi produksi
estrogen oleh ovarium. Aromatisasi diinduksi atau diaktivasi melalui kerja FSH.
Pengikatan FSH pada reseptornya dan aktivasi sinyal yang dimediasi oleh
adenilat siklase diikuti oleh ekspresi mRNA multipel yang mengkode protein yang
bertanggung-jawab untuk proliferasi, diferensiasi, dan fungsi sel. Karena itu,
FSH menginisiasi steroidogenesis (produksi estrogen) dalam sel-sel granulosa
dan merangsang pertumbuhan dan proliferasi sel granulosa.
Reseptor-reseptor spesifik untuk FSH tidak terdeteksi dalam sel-sel
granulosa sampai mencapai tahap preantral, dan folikel preantral memerlukan
adanya FSH untuk melakukan aromatisasi androgen dan memproduksi lingkungan
mikro-nya sendiri yang bersifat estrogenik. Karena itu, produksi estrogen
dibatasi oleh kandungan reseptor FSH. Pemberian FSH akan meningkatkan dan
menurunkan konsentrasi reseptornya sendiri yang terdapat pada sel-sel granulosa
(up- dan down-regulasi) baik in vivo maupun in
vitro. Kerja FSH ini dimodulasi oleh growth
factor. Reseptor-reseptor FSH segera mencapai konsentrasi sekitar 1500
reseptor dalam tiap sel granulosa.
FSH bekerja melalui protein G, sistem adenilat, yang akan mengalami down-regulasi dan modulasi oleh
berbagai faktor, termasuk intermedier kalsium-kalmodulin. Walaupun
steroidogenesis dalam folikel ovarium terutama diatur oleh gonadotropin,
terlibat pula jalur-jalur sinyalisasi multipel yang merespon kepada banyak
faktor selain gonadotropin. Disamping sistem enzim adenilat siklase,
jalur-jalur ini meliputi ion gate
channel, reseptor tirosin kinase, dan sistem fosfolipase dari messenger kedua. Jalur-jalur ini
diregulasi oleh berbagai faktor, termasuk growth factor, nitrit oksida, prostaglandin, dan peptida seperti
gonadotropin-releasing hormone
(GnRH), angiotensin II, faktor nekrosis jaringan-α, dan peptida intestinal
vasoaktif. Pengikatan hormon luteinisasi (LH) pada reseptornya dalam ovarium
juga diikuti oleh aktvasi jalur adenilat siklase-siklik AMP melalui mekanisme
protein G.
FSH bekerjasama sinergis dengan estrogen untuk menyebabkan kerja
mitogenik pada sel-sel granulosa untuk merangsang proliferasi sel-sel tersebut.
Bersama-sama, FSH dan estrogen mendorong akumulasi cepat reseptor FSH,
mencerminkan sebagian peningkatan dalam jumlah sel granulosa. Terdapatnya
estrogen dini dalam folikel memungkinkan folikel memberi respon kepada
konsentrasi FSH yang relatif rendah, hal ini merupakan fungsi autokrin untuk
estrogen dalam folikel. Seiring dengan berlanjutnya pertumbuhan, sel-sel
granulosa berdiferensiasi menjadi beberapa sub kelompok populasi sel yang
berbeda. Ini tampaknya ditentukan oleh letak sel relatif terhadap oosit.
Terdapat suatu sistem komunikasi dalam folikel. Tidak semua sel harus
mengandung reseptor untuk gonadotropin. Sel-sel dengan reseptor dapat
mengirimkan sebuah sinyal (oleh gap
junction), yang menyebabkan aktivasi protein kinase dalam sel-sel yang
tidak memiliki reseptor. Karena itu, kerja yang diinisiasi oleh normon dapat
dikirim sepanjang folikel walaupun sebenarnya hanya ada sebuah sub kelompok sel
yang mengikat hormon tersebut. Sistem komunikasi ini mendorong terjadinya
performa yang terkoordinasi dan sikron sepanjang folikel, suatu sistem yang terus
bekerja dalam korpus luteum.
Peranan androgen dalam
perkembangan folikuler dini merupakan sesuatu yang kompleks. Reseptor-reseptor
androgen spesifik terdapat dalam sel-sel granulosa. Androgen tidak hanya
bekerja sebagai substrat untuk aromatisasi yang diinduksi oleh FSH, tetapi
dalam konsentrasi rendah, dapat semakin memperbaiki aktivitas aromatase. Jika
terpapar pada lingkungan yang kaya androgen, sel-sel granulosa preantral akan
mendukung konversi androgen menjadi androgen terreduksi-5α yang lebih poten dan bukan menjadi estrogen.
Andorgen-androgen ini tidak dapat diubah menjadi estrogen dan, sebenarnya,
menghambat aktivitas aromatase. Androgen-androgen ini juga menghambat indusi
pembentukan reseptor LH oleh FSH, suatu langkah penting lain dalam perkembangan
folikuler.
Nasib folikel preantral berada dalam
keseimbangan yang sangat baik.
Pada konsentrasi rendah, androgen memperbaiki aromatisasinya sendiri dan
menyumbang bagi produksi estrogen. Pada kadar yang lebih tinggi, terbatasnya
kapasitas aromatisasi mengalami kelebihan, dan folikel menjadi androgenik dan
akhirnya atretik. Folikel-folikel akan melanjutkan perkembangan hanya jika
folikel-folikel tersebut muncul saat FSH meningkat dan LH berada dalam
konsentrasi rendah. Folikel-folikel yang muncul pada akhir masa luteal atau
awal siklus berikutnya akan didukung oleh suatu lingkungan dimana aromatisasi
dalam sel granulosa dapat terjadi. Keberhasilan
sebuah folikel bergantung pada kemampuannya untuk mengubah lingkungan mikro
yang didominasi oleh androgen menjadi lingkungan mikro yang didominasi oleh
estrogen.
Rangkuman Kejadian-kejadian Kunci dalam Folikel Preantral
- Perkembangan folikuler awal terjadi lepas dari pengaruh hormon.
- Stimulasi FSH menyelamatkan sebuah kohort folikel dari apoptosis, mendorong kohort folikel tersebut menuju tahap preantral.
- Aromatisasi androgen yang diinduksi oleh FSH dalam granulosa menyebabkan produksi estrogen.
- Bersama-sama, FSH dan estrogen meningkatkan kandungan reseptor FSH dalam folikel dan merangsang proliferasi sel-sel granulosa.
D. Folikel Antral
Dibawah pengaruh sinergistik
estrogen dan FSH terjadilah peningkatan produksi cairan folikuler yang
terakumulasi dalam ruang antarsel granulosa, dan akhirnya berkoalesensi
membentuk suatu kavitas, bersamaan dengan transisi folikel kedalam tahap
antral. Akumulasi cairan folikuler memberi cara dengan mana oosit dan sel-sel
granulosa disekitarnya dapat diperlihara dalam suatu lingkungan endokrin
spesifik. Sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit saat ini disebut sebagai kumulus
ooforus. Diferensiasi sel-sel kumulus diyakini merupakan respon terhadap
sinyal-sinyal yang berasal dari dalam oosit.
Pada adanya FSH, estrogen
menjadi substansi yang dominan dalam cairan folikuler. Sebaliknya, pada tidak
adanya FSH, androgen menjadi dominan. LH tidak biasanya dijumpai dalam cairan
folikuler sampai pertengahan siklus. Jika terjadi peningkatan LH sebelum
waktunya dalam sirkulasi dan cairan folikuler, aktivitas mitotik dalam
granulosa akan menurun, perubahan-perubahan degeneratif akan terjadi, dan kadar
androgen intrafolikuler akan meningkat. Karena itu, dominansi estrogen dan FSH
penting untuk mempertahankan akumulasi sel-sel granulosa dan pertumbuhan
folikuler yang kontinyu. Folikel-folikel antral dengan proliferasi granulosa terbesar
mengandung konsentrasi estrogen tertinggi dan rasio androgen/estrogen terendah,
dan merupakan yang paling besar kemungkinannya memproduksi oosit yang sehat.
Lingkungan yang androgenik akan mengantagonisasi proliferasi granulosa yang
diinduksi oleh estrogen dan, jika berlangsung lama, akan mendorong terjadinya
perubahan-perubahan degeneratif dalam oosit.
Steroid yang terdapat dalam
cairan folikuler dapat ditemukan dalam konsentrasi beberapa kali lipat lebih
tinggi daripada steroid dalam sirkulasi dan mencerminkan kapasitas fungsional
sel-sel granulosa dan sel-sel teka disekitarnya. Sintesis hormon steroid secara
fungsional ditempatkan dalam folikel – apa yang dikenal sebagai sistem dua sel.
Sistem Dua-Sel, Dua-Gonadotropin
Aktivitas aromatase granulosa jauh
melebihi apa yang dijumpai dalam teka. Dalam folikel-folikel preantral dan
antral manusia, reseptor-reseptor LH hanya terdapat dalam sel-sel teka dan
reseptor-reseptor FSH hanya terdapat dalam sel-sel granulosa. Sel-sel
interstisial tekal, terletak dalam teka interna, memiliki kurang lebih 20000
reseptor LH dalam membran selnya. Sebagai respon terhadap LH, jaringan teka
akan dirangsang untuk memproduksi androgen yang kemudian dapat diubah, melaui
aromatisasi yang diinduksi oleh FSH, menjadi estrogen dalam sel-sel granulosa.
Interaksi antara kompartemen granulosa dan teka, dan percepatan
produksi estrogen sebagai akibatnya, tidak benar-benar fungsional sampai tahap
lanjut perkembangan antral. Seperti sel-sel granulosa preantral, granulosa dari
folikel-folikel antral kecil menunjukkan kecenderungan in vitro untuk mengubah
sejumlah besar androgen menjadi bentuk 5α-tereduksi
yang lebih poten. Sebaliknya, sel-sel granulosa yang diisolasi dari
folikel-folikel antral besar segera dan lebih cenderung memetabolisasi androgen
menjadi estrogen. Konversi dari lingkungan mikro androgen menjadi lingkungan mikro estrogen (konversi yang
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut) bergantung pada
sensitivitas yang semakin bertambah terhadap FSH yang disebabkan oleh kerja FSH
dan pengaruh estrogen.
Seiring dengan berkembangnya folikel, sel-sel teka mulai mengekspresikan
gen-gen untuk reseptor LH, P450scc, dan 3β-hidroksisteroid
dehidrogenase. Pemasukan kolesterol kedalam mitokondria yang diatur terpisah
(oleh LH), dengan mempergunakan internalisasi kolesterol LDL, penting untuk
steroidogenesis. Karena itu,
steroidogenesis dalam ovarium bergantung pada LH sampai tingkat tertentu. Sel-sel granulosa dalam
ovarium manusia, setelah luteinisasi dan vaskularisasi yang terjadi setelah
ovulasi, dapat menggunakan kolesterol HDL dalam suatu sistem yang berbeda dari
jalur kolesterol LDL. Lipoprotein tidak mengalami internalisasi, tetapi ester
kolesteril akan diekstraksikan dari lipoprotein pada permukaan sel dan kemudian
dikirim kedalam sel.
Pentingnya sistem dua-sel, dua-gonadotropin dalam primata didukung oleh
respon para wanita dengan defisiensi gonadotropin terhadap terapi dengan FSH
rekombinan (murni). Folikel-folikel berkembang (memastikan adanya peranan
penting FSH, dan peranan LH yang kurang penting, dalam pertumbuhan awal), namun
produksi estradiol dibatasi. Terjadi
sejumlah aromatisasi, mungkin menggunakan androgen yang berasal dari dalam
kelenjar adrenal, sehingga tercapai kadar estradiol fase folikuler dini,
tetapi steroidogenesis kuat yang biasanya terjadi tidak dapat terjadi tanpa
adanya LH untuk menyediakan produksi teka dari substrat androgen. Hanya FSH yang diperlukan untuk
folikulogenesis dini, dan bahwa pada primata, peptida-peptida autokrin-parakrin
telah mengambil peranan intraovarium penting untuk memodulasi respon
gonadotropin. Namun, tahap-tahap akhir maturasi dioptimalisasi oleh LH,
meningkatkan jumlah substrat androgen untuk produksi estrogen dan mendorong
pertumbuhan folikel yang dominan dan secara simultan mempercepat regresi
folikel-folikel yang lebih kecil.
Pemilihan
Folikel yang Dominan
Keberhasilan konversi menjadi folikel yang dominan estrogen menandai
“pemilihan” suatu folikel yang ditakdirkan untuk mengalami ovulasi, dimana
dalam proses ini, dengan perkecualian yang sangat jarang, hanya satu folikel
saja yang berhasil. Proses pemilihan ini sampai tingkat tertentu merupakan
hasil dari dua kerja estrogen: (1) interaksi lokal antara estrogen dan FSH
dalam folikel, dan (2) efek estrogen pada sekresi FSH oleh pituitari. Mespikun
estogen memberi pengaruh positif pada
kerja FSH dalam folikel yang mengalami maturasi, hubungan umpan balik
negatifnya dengan FSH pada tingkat hipotalamus-pituitari menyebabkan penarikkan
dukungan gonadotropin dari folikel-folikel lain yang kurang berkembang. Penurunan FSH menyebabkan penurunan
aktivitas aromatase yang bergantung pada FSH, membatasi produksi estrogen
dalam folikel-folikel yang kurang matur. Bahkan jika suatu folikel yang kurang
matur berhasil mencapai lingkungan mikro estrogen, penurunan dukungan FSH akan
mengganggu proliferasi dan fungsi granulosa, mendorong konversi menjadi
lingkungan mikro androgenik, dan karenanya mendinduksi perubahan atretik yang
ireversibel. Memang, kejadian pertama dalam proses atresia adalah berkurangnya
reseptor FSH dalam lapisan granulosa.
Setelah sel memasuki proses apoptosis, respon sel terhadap FSH
dimodulasi oleh growth factor lokal. Faktor nekrosis tumor (TNF), yang diproduksi dalam sel-sel
granulosa, menghambat stimulasi sekresi estradiol oleh FSH, kecuali dalam
folikel yang dominan. Terdapat hubungan terbalik antara ekspresi TNF dan
stimulasi sel-sel granulosa oleh gonadotropin. Karenanya, seiring dengan
meningkatnya respon folikel dominan terhadap gonadotropin, produksi TNF-nya
menurun. Folikel-folikel yang gagal merespon terhadap gonadotropin akan
meningkatkan produksi TNF-nya, sehingga mempercepat perusakan folikel-folikel
tersebut. Walaupun fungsi utama hormon anti-mülleri (AMH) adalah untuk
menyebabkan regresi duktus müleri selama diferensiasi seksual pria, AMH
terdeteksi dalam sel-sel granulosa dari folikel-folikel primordial dini dan
mencapai konsentrasi puncak dalam folikel-folikel antral. Studi-studi
menggunakan tikus model knockout telah menunjukkan bahwa AMH menghambat pertumbuhan folikel-folikel
primordial. Disamping itu, aktivitas parakrin AMH menghambat pertumbuhan
folikel yang dirangsang oleh FSH, sehingga menyumbang terhadap munculnya sebuah
folikel yang dominan. Karena aktivitas-aktivitas ini, kadar AMH dalam sirkulasi
mencerminkan jumlah folikel yang sedang bertumbuh, dan konsentrasi AMH dalam
darah dapat menjadi ukuran penuaan ovarium dan prognosis untuk fertilitas.
Sebuah asimetri dalam produksi estrogen ovarium, ekspresi munculnya
folikel yang dominan, dapat dideteksi dalam efluen vena ovarium pada hari 5
siklus, bersesuaian dengan penurunan kadar FSH berangsur-angsur yang dijumpai
pada fase midfolikuler dan mendahului peningkatan diameter yang menandai
kemunculan fisik folikel yang dominan. Ini adalah waktu yang sangat penting
dalam siklus. Estrogen eksogen, yang diberikan bahkan setelah pemilihan folikel
dominan, mengganggu perkembangan praovulatorik dan menginduksi atresia dengan
menurunkan kadar FSH dibawah kadar yang dipertahankan. Karena folikel-folikel
yang kurang berkembang memasuki proses atresia, hilangnya folikel dominan
selama masa waktu ini memerlukan awal yang bru, dengan penarikan sebuah set lain
folikel-folikel preantral.
Umpan balik negatif estrogen pada FSH bekerja menghambat perkembangan
semua folikel kecuali folikel dominan. Folikel yang terpilih tetap bergantung
pada FSH dan harus menyelesaikan perkembangan praovulatoriknya walaupun terjadi
penurunan kadar FSH. Karena itu, folikel yang dominan harus lepas dari akibat supresi FSH
yang diinduksi oleh percepatan produksi estrogennya sendiri. Folikel yang
dominan memiliki dua keunggulan bermakna, diperolehnya jumlah reseptor FSH yang
lebih besar karena kecepatan proliferasi granulosa yang melebihi kecepatan
proliferasi granulosa kohort-nya dan perbaikan kerja FSH karena tingginya
konsentrasi estrogen intrafolikuler dan karena peptida-peptida
autokrin-parakrin lokal. Karenanya, folikel yang dominan lebih sensitif
terhadap FSH, dan selama terdapat durasi penting paparan FSH pada awalnya,
folikel yang dominan terus berkembang. Akibatnya, stimulus untuk aromatisasi,
FSH, dapat dipertahankan, sementara pada waktu yang sama juga ditarik dari
antara folikel-folikel yang kurang berkembang. Karena itu, gelombang atresia
diantara folikel-folikel yang kurang berkembang tampaknya sejajar dengan
peningkatan estrogen.
Untuk merespon kepada peningkatan tajam ovulatorik dan menjadi korpus
luteum yang berhasil, sel-sel granulosa harus memperoleh reseptor LH. FSH
menginduksi perkembangan reseptor LH pada sel-sel granulose folikel-folikel
antral besar. disini sekali lagi estrogen dan peptida-peptida autokrin-parakrin
lokal bertindak sebagai koordinator utama. Dengan peningkatan konsentrasi
estrogen dalam folikel, FSH mengubah titik berat kerjanya, dari up-regulasi reseptornya sendiri menjadi memproduksi
reseptor LH. Kombinasi kapasitas untuk respon kontinyu walaupun terjadi
penurunan kadar FSH dan tingginya lingkungan estrogen lokal dalam folikel yang
dominan menciptakan kondisi yang optimal untuk perkembangan reseptor LH. LH
dapat menginduksi pembentukan reseptornya sendiri dalam sel-sel granulosa yang
telah dimatangkan oleh FSH, namun mekanisme primernya mempergunakan stimulasi
FSH dan perbaikan estrogen.
Sistem Umpan
Balik
Gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) memegang peranan
obligatorik dalam kontrol sekresi gonadotropin, tetapi pola sekresi
gonadotropin yang dijumpai dalam siklus menstruasi merupakan hasil dari
modulasi umpan balik steroid dan peptida yang berasal dari folikel dominan,
yang bekerja langsung pada hipotalamus dan pituitari anterior. Disamping itu,
peningkatan GnRH menyertai peningkatan tajam LH, menunjukkan bahwa umpan balik
positif estrogen bekerja pada pituitari maupun hipotalamus. Estrogen juga
menunjukkan efek inhibitoriknya dalam hipotalamus maupun pituitari anterior,
menurunkan sekresi pulsatil GnRH maupun respon GnRH pituitari. Progesteron
bekerja pada dua tempat. Kerja inhibitoriknya terjadi pada tingkat hipotalamus,
dan, seperti estrogen, kerja positifnya terjadi langsung pada pituitari.
Sekresi FSH sangat sensitif terhadap efek inhibitorik negatif estrogen
bahkan pada kadar rendah. Pada kadar yang lebih tinggi, estrogen berkombinasi
dengan inhibin untuk menyebabkan penekanan besar yang berlangsung lama pada
FSH. Sebaliknya,
peranan estrogen pada pelepasan LH bervariasi dengan konsentrasi dan durasi
paparan. Pada kadar rendah, estrogen menunjukkan hubungan umpan balik negatif
dengan LH. Namun, pada kadar yang lebih tinggi, estrogen mampu memberikan umpan
balik stimulatorik positif pada pelepasan LH.
Transisi dari supresi menjadi stimulasi pelepasan LH terjadi seiring
dengan peningkatan estradiol selama fase midfolikuler. Terdapat dua hal penting
dalam mekanisme ini: (1) konsentrasi estradiol, dan (2) lamanya peningkatan
estradiol dapat dipertahankan. Pada wanita, konsentrasi estradiol yang
diperlukan untuk mencapai umpan balik positif adalah lebih dari 200 pg/mL, dan
konsentrasi ini harus dipertahankan selama kurang lebih 50 jam. Kadar estrogen
ini pada dasarnya tidak pernah tercapai sampai folikel dominan telah mencapai
diameter 15 mm. Rangsang estrogen harus dipertahankan melewati inisiasi
peningkatan tajam LH sampai peningkatan tersebut benar-benar terjadi.
Seandainya tidak, maka peningkatan tajam LH akan berlangsung lebih pendek atau
bahkan gagal terjadi.
Dalam
pola bulanan yang sudah tetap, gonadotropin disekresikan secara pulsatil dengan
frekuensi dan magnitud yang bervariasi sesuai fase siklus. Pola pulsatil ini
langsung disebabkan oleh sekresi pulsatil serupa dari GnRH, tetapi modulasi
amplitudo dan frekuensinya merupakan akibat umpan balik steroid pada
hipotalamus dan pituitari anterior. Sekresi
pulsatil memiliki frekuensi lebih sering tetapi dengan amplitudo lebih kecil
selama fase folikuler dibandingkan dengan fase luteal, dengan dijumpai sedikit
peningkatan frekuensi saat fase folikuler berlanjut ke tahap ovulasi.
Perubahan-perubahan frekuensi pulsasi GnRH dalam fase luteal berkorelasi
dengan lamanya paparan terhadap progesteron, sedangkan perubahan-perubahan
amplitudo pulsasi tampaknya dipengaruhi oleh perubahan kadar progesteron. Baik
estradiol dan progesteron diperlukan untuk mencapai pola sekretotik GnRH yang
rendah dan tersupresi selama fase luteal. Studi-studi menunjukkan bahwa steroid
mempengaruhi perubahan frekuensi pelepasan GnRH oleh hipotalamus dan kerja
pituitari pada amplitudo pulsasi gonadotropin. Kerja inhibitorik steroid fase
luteal sebagian dimediasi oleh peningkatan peptida opioid endogen dalam
hipotalamus. Baik estrogen dan progesteron dapat meningkatkan opiat endogen,
dan pemberian klomifen (suatu antagonis estrogen) selama fase luteal
meningkatkan frekuensi pulsasi LH tanpa mempengaruhi amplitudo. Karenanya, estrogen
memperbaiki kerja stimulatorik progesteron pada peptida opioid endogen,
sehingga menyebabkan terjadinya kadar opiat endogen yang relatif tinggi selama
fase luteal.
Terdapat perbedaan antara pola sekresi FSH dan LH seperti yang
ditentukan oleh immunoassay dan bioassay, mnunjukkan bahwa gonadotropin yang secara biologis lebih aktif
disekresikan pada pertengahan siklus dan bukan pada masa-masa lain selama
siklus berlangsung. Kualitas ini, bioaktivitas banding imunoreaktivitas,
ditentukan oleh struktur molekuler molekul gonadotropin, suatu konsep
heterogenitas hormon-hormon tropik. Terdapat hubungan jelas antara aktivitas
dan waktu paruh hormon-hormon glikoprotein dan kandungan asam sialatnya. Efek
umpan balik estrogen meliputi modulasi sialilasi serta ukuran dan aktivitas
gonadotropin yang kemudian dilepaskan, maupun perbaikan pelepasan sekretorik
gonadotropin yang secara biologis aktif yang dirangsang oleh GnRH. Maka jelas
beralasan untuk mengintensifkan efek gonadotropin pada pertengahan siklus.
Karena itu, kerja umpan balik positif estrogen meningkatkan kuantitas maupun
kualitas (bioaktivitas) FSH dan LH. Disamping perubahan pada pertengahan siklus
yang mendukung aktivitas gonadotropin pada folikel ovarium, isoform-isoform FSh
dengan aktivitas biologis lebih besar juga meningkat selama fase luteal lanjut,
perubahan yang dengan tepat diarahkan untuk mendorong pertumbuhan folikel
ovarium baru untuk siklus berikutnya.
Inhibin, Aktivin, dan Folistatin
Keluarga peptida ini disintesis oleh sel-sel granulosa sebagai respon
terhadap FSH dan disekresikan kedalam cairan folikuler dan efluen vena ovarium.
Ekspresi peptida-peptida ini tidak terbatas pada ovarium; peptida-peptida ini
terdapat dalam banyak jaringan diseluruh tubuh dan bertindak sebagai regulator
autokrin-parakrin. Inhibin merupakan inhibitor penting dari sekresi FSH. Aktvin
merangsang pelepasan FSH dalam pituitari dan memperbaiki kerja FSH dalam
ovarium. Folistatin menekan akitivitas FSH dengan mengikat aktivin.
Growth Factor
Growth factor merupakan polipeptida yang
memodulasi proliferasi dan diferensiasi sel, bekerja melalui pengikatan dengan
reseptor-reseptor membran sel spesifik. Growth factor bukan merupakan substansi
endokrin klasik; growth factor bekerja secara lokal dan
memiliki fungsi parakrin dan autokrin. Terdapat berbagai growth factor, dan kebanyakan sel mengandung
berbagai reseptor untuk berbagai growth factor.
Insulin-like Growth
Factor.
Insulin-like
growth factor
(sebelumnya disebut somatomedin) adalah peptida yang memiliki kesamaan struktural
dan fungsional terhadap insulin dan memediasi kerja growth hormone. Insulin-like growth factor-I (IGF-I) dan insulin-like growth factor-II (IGF-II) merupakan polipeptida
rantai tunggal yang mengandung tiga ikatan disulfida. IGF-I dikode pada lengan
panjang kromosom 12 dan IGF-II pada lengan pendek kromosom 11 (yang juga
mengandung gen insulin). Gen-gen tersebut dipengaruhi oleh berbagai promoter,
dan karenanya regulasi yang berbeda dapat menentukan kerja akhirnya.
IGF-I memediasi kerja growth hormone untuk mendorong pertumbuhan. Mayoritas IGF-I dalam
sirkulasi berasal dari sintesisnya yang bergantung pada growth
hormone dalam hepar. Namun, IGF-I
disintesis dalam banyak jaringan dimana produksinya dapat diatur bersamaan
dengan growth hormone atau
secara bebas oleh faktor-faktor lain.
IGF-II memiliki ketergantungan yang kecil pada growth
hormone. Diyakini bahwa IGF-II
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan janin. Kedua IGF ini menginduksi
ekspresi gen-gen seluler yang bertanggung-jawab untuk proliferasi dan
diferensiasi seluler.
Protein Pengikat Insulin-Like Growth
Factor.
Terdapat enam peptida nonglikosilasi yang berfungsi sebagai protein
pengikat IGF, IGFBP-1 sampai IGFBP-6. Protein-protein pengikat ini bertindak membawa IGF dalam serum,
memperpanjang waktu paruh, dan mengatur efek IGF pada jaringan. Kerjanya
sebagai pengatur terjadi karena pengikatan dan sekuesterisasi IGF, mencegah
akses IGF menuju reseptor permukaan membran sel, dan, karenanya, tidak
memungkinkan kerja sinergistik yang terjadi jika gonadotropin dan growth factor berkombinasi. IGFBP juga dapat menunjukkan kerja langsung pada fungsi
seluler, terlepas dari fungsi growth factor. IGFBP-1 adalah BP utama
dalam cairan amnion; IGFBP-3 adalah BP utama dalam serum dan sintesisnya, yang
terutama terjadi dalam hepar, bergantung pada growth hormone. Kadar IGFBP-3 dalam sirkulasi mencerminkan konsentrasi IGF total
(IGF-I ditambah IGF-II) dan membawa setidaknya 90% dari IGF dalam sirkulasi.
BP-BP ini tidak mengikat insulin. BP mengalami perubahan dengan pertambahan
usia (kadar IGFBP-3 menurun) dan selama kehamilan (penurunan kadar IGFBP-3
karena adanya protease yang unik untuk kehamilan dalam sirkulasi).
Reseptor IGF.
Reseptor tipe I secara preferensial mengikat IGF-1 dan dapat disebut
sebagai reseptor IGF-1. Reseptor tipe II dengan cara yang sama dapat disebut
sebagai reseptor IGF-II. IGF-I juga berikatan dengan reseptor insulin tetapi
dengan afinitas rendah. Nsulit berikatan dengan reseptor IGF-I dengan afinitas
sedang. Reseptor IGF-I dan reseptor insulin memiliki struktur yang mirip:
tetramer yang terdiri dari dua subunit α dan
dua subunit β yang dihubungkan dengan
ikatan disulfida. Komponen intraseluler β dari
subunit adalah suatu tirosin kinase yang diaktivasi oleh autofosforilasi.
Reseptor IGF-II tidak mengikat insulin. Reseptor IGF-II adalah suatu
glikoprotein rantai tunggal, dengan 90% strukturnya meluas ke ekstraseluler.
Reseptor ini benfungi sebagai reseptor yang berikatan dengan protein G. Efek
fisiologis IGF-I dimediasi oleh reseptornya sendiri, tetapi IGF-II dapat
bekerja melalui kedua reseptor. Memang, reseptor IGF-I mengikat IGF-I dan IGF-II dengan afinitas yang
sama. Pada sel-sel manusia, reseptor IGF-I dan reseptor IGF-II terdapat dalam
sel-sel teka dan sel-sel granulosa serta sel-sel granulosa yang telah mengalam
luteinisasi. Jaringan
stroma ovarium mengandung reseptor IGF-I.
Kerja IGF Pada
Ovarium. IGF-I
telah terbukti merangsang kejadian-kejadian berikut ini dalam sel-sel teka dan
granulosa ovarium: sintesis DNA, steroidogenesis, aktivitas aromatase, sintesis
reseptor LH, dan sekresi inhibin. IGF-II merangsang mitosis granulosa. Dalam
sel-sel ovarium manusia, IGF-I, dalam sinergi dengan FSH, merangsang sintesis
protein dan steroidogenesis. Setelah reseptor LH muncul, IGF-I memperbaiki
sintesis progesteron yang diinduksi oleh LH dan merangsang proliferasi sel-sel
granulos-luteal. IGF-I, dalam sinergi dengan FSH, sangat aktif merangsang
folikel-folikel praovulatorik. Karenanya, IGF-I dapat terlibat dalam sintesis
estradiol maupun sintesis progesteron.
Dalam percobaan binatang, sintesis IGF-I oleh sel-sel granulosa
bergantung pada FSH tetapi didorong oleh estradiol. Growth
hormone juga bekerja secara
sinergis dengan FSH dan estradiol untuk meningkatkan sintesis IGF. Cerita ini
menjadi membingungkan jika berbagai growth factor dan regulator dipelajari, karena berbagai efek
stimulatorik dan inhibitorik mereka. Pada tikus, sel granulosa adalah tempat
utama untuk ekspresi gen IGF-I, yang aktif hanya sebelum ovulasi. Hal ini tidak
terdeteksi dalam folikel-folikel atretik atau dalam korpus luteum. Sekali lagi
pada tikus, ekspresi gen IGF-II tampaknya terbatas pada sel-sel teka dan
sel-sel interstisial. Namun, tempat ekspresi IGF berbeda pada primata.
Dalam studi-studi dengan jaringan ovarium, IGF-II diekspresikan dalam
jumlah tinggi dalam sel-sel teka maupun sel-sel granulosa; namun, kadarnya
paling tinggi dalam granulosa dan meningkat dengan bertumbuhnya folikel. IGF-II
juga disintesis oleh granulose luteinisasi dan tampaknya memiliki fungsi
autokrin lokal. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa IGF-II adalah IGF primer dalam
ovarium manusia. Namun demikian, IGF-I masih merupakan produk bermakna dari
sel-sel teka manusia.
Sel-sel teka manusia mengekspresikan transkrip mRNA, yang mengkode
reseptor-reseptor untuk IGF-I dan insulin. Karena insulin dan IGF-II dapat
mengaktivasi reseptor untuk IGF-I, jalur ini menyediakan metode untuk
mengeluarkan pengaruh parakrin pada sel-sel granulosa dan aktivitas autokrin
dalam teka (memperbaiki stimulasi produksi androgen oleh LH). Studi-studi in
vitro memastikan bahwa IGF-II mampu merangsang steroidogenesis dan proliferasi
dalam sel-sel teka dan granulosa manusia. Kerja
ini diperbaiki oleh growth hormone, yang meningkatkan produksi IGF dan, karenanya,
secara tidak langsung memperbaiki stimulasi folikel-folikel ovarium oleh
gonadotropin.
Skenario pada primata ini didukung oleh ditemukannya kadar IGF-II yang
lebih tinggi, tetapi IGF-I tidak, dalam cairan folikuler folikel-folikel yang
sedang berkembang, dengan kadar tertinggi terdapat dalam folikel yang dominan.
Kadar IGF dalam cairan folikuler berkorelasi dengan kadar estradiol dan
mengalami peningkatan pendek lebih lanjut setelah peningkatan tajam LH. Tidak
ada perubahan siklus menstruasi dalam kadar IGF-I, IGF-II, IGFBP-1, atau
IGFBP-3 dalam sirkulasi; kadar tinggi dalam folikel dominan tidak berkaitan
dengan peningkatan kadar dalam sirkulasi.
Rangkuman Kerja Insulin-Like
Growth Factor dalam Ovarium
1.
IGF yang paling
banyak dalam folikel manusia adalah IGF-II, diproduksi dalam sel-sel teka,
sel-sel granulosa, dan sel-sel granulosa luteinisasi.
2.
IGF-II mendorong
kerja gonadotropin, sehingga merangsang proliferasi sel granulosa, aktivitas
aromatase, dan sintesis progesteron.
3.
Gonadotropin
merangsang produksi IGF, dan pada percobaan binatang rangsangan ini diperbaiki
oleh estradiol dan growth hormone.
4.
Reseptor-resepor
IGF-I terdapat dalam sel-sel teka dan granulosa, dan hanya reseptor IGF-II yang
terdapat dalam granulosa luteinisasi. IGF-II mengaktivasi reseptor IGF-I maupun
IGF-II.
5.
FSH menghambat
sintesis protein pengikat, dan karenanya memaksimalisasi ketersediaan growth
factor.
Ringkasan Kejadian-kejadian Kunci dalam Folikel Antral
1. Produksi estrogen fase
folikuler dijelaskan oleh mekanisme dua-sel, dua-gonadotropin, memungkinkan
pembentukan penting lingkungan mikro yang didominasi oleh estrogen.
2. Seleksi folikel dominan
terjadi selama hari 5-7, dan akibatnya, kadar estradio perifer mulai
menunjukkan peningkatan bermakna pada hari 7 siklus.
3. Kadar estradiol, derivat dari
folikel dominan, meningkat tetap dan, melalui efek umpan balik negatif, memberikan
pengaruh supresif yang semakin besar pada pelepasan FSH.
4. Bersamaan dengan menyebabkan
penurunan kadar FSH, peningkatan estradiol pada fase midfolikuler memberi
pengaruh umpan balik positif pada sekresi LH.
5. Kerja positif estrogen juga
meliputi modifikasi molekul gonadotropin, menyebabkan peningkatan kualitas
(bioaktivitas) maupun kuantitas FSH dan LH pada pertengahan siklus.
6. Kadar LH meningkat tetap
selama fase folikuler lanjut, sehingga merangsang produksi androgen dalam teka
dan mengoptimalisasi maturasi akhir dan fungsi folikel yang dominan.
7. Suatu responsivitas unik
terhadap FSH memungkinkan folikel dominan untuk mempergunakan androgen sebagai
substrat dan lebih lanjut mempercepat produksi estrogen.
8. FSH menginduksi tampilnya
reseptor-reseptor LH pada sel-sel granulosa.
9. Respon folikuler terhadap
gonadotropin dimodulasi oleh berbagai growth
factor dan
peptida autokrin-parakrin.
10. Inhibin-B, yang disekresi
oleh sel-sel granulosa sebagai respon terhadap FSH, secara langsung menekan
sekresi FSH pituitari.
11. Aktivin, yang berasal dari
pituitari maupun granuloa, memperbaiki sekresi dan kerja FSH.
12.
IGF mendorong
semua kerja FSH dan LH.
Ringkasan
Kejadian-kejadian Kunci dalam Folikel Ovarium Primata
1.
FSH memiliki aktivitas ganda dalam sel
granulose, yaitu merangsang aromatisasi androgen menjadi estrogen, meningkatkan
kandungan reseptor FSH dan LH dalam sel granulosa, merangsang proliferasi
sel-sel granulosa, dan memproduksi faktor-faktor autokrin-parakrin, terutama
aktivin dan inhibin.
2.
Dalam granulosa dari fase folikuler dini,
aktivin memperbaiki aktivitas FSH: ekspresi reseptor FSH, aromatisasi, produksi
inhibin/aktivin, dan ekspresi reseptor LH. Dalam teka, aktivin menekan produksi
andrgen, sehingga memungkinkan terciptanya lingkungan mikro estrogen.
3.
Pada fase folikuler lanjut, inhibin
memperbaiki stimulasi sintesis androgen oleh LH dalam teka untuk menyediakan
substrat bagi aromatisasi menjadi estrogen dalam granulosa, sehingga akan
tersedia sejumlah besar estrogen yang diperlukan untuk kerja folikuler lokal dan
untuk memicu peningkatan tajam LH.
4.
Inhibin-B disekresi oleh sel-sel granulosa
kedalam sirkulasi, dimana inhibin tersebut akan bekerja dengan cara endokrin
klasik untuk menekan sekresi FSH oleh
kelenjar pituitari, sebuah metode pnting untuk memastikan adanya dominasi
sebuah folikel tunggal.
5.
Dengan munculnya reseptor-reseptor LH,
produksi inhibin dapat dipertahankan seiring dengan beralihan produksi inhibin
menjadi dibawah kontrol LH.
6.
Pada fase folikuler lanjut, maturasi akhir
folikel untuk menghasilkan tingkat steroidogenesis yang diinginkan dan sebuah
oosit dengan viabilitas terbaik memerlukan adanya LH.
7.
Semua fungsi dimodulasi oleh sekelompok
growth factor, dan IGF-II, khususnya, mungkin penting.
E. Folikel Praovulatorik
Sel-sel
granulosa dalam folikel praovulatorik membesar dan memperoleh inklusi lipid
sedangkan teka mengalami vakuolisasi dan sangat granuler, sehingga folikem
praovulatorik tampak hiperemik. Oosit melanjut mengalami miosis, mendekati
akhir pembelahan reduksinya.
Mendekati maturitas, folikel praovulatorik memproduksi jumlah estrogen
yang semakin banyak. Selam fase folikuler lanjut, pertama-tama estrogen
meningkat perlahan-lahan, dan kemudian dengan cepat, mencapai pundak sekitar
24-36 jam sebelum ovulasi. Onset peningkatan tajam LH terjadi saat kadar puncak
estradiol tercapai. Dalam menyediakan stimulus ovulatorik untuk folikel
terpilih, peningkatan tajam LH menutup nasib folikel-folikel yang tersisa,
dengan kadar estrogen dan FSH-nya yang lebih rendah, dengan semakin
meningkatkan superioritas androgen.
Dengan bekerja melalui reseptornya sendiri, LH mendorong luteinisasi
granulosa dalam folikel yang dominan dan menyebabkan produksi progesteron.
Reseptor LH, setelah diekspresikan, menghambat pertumbuhan sel lebih lanjut dan
memfokuskan energi sel pada steroidogenesis (aksi yang diperbaiki oleh IGF).
Peningkatan dalam progesteron dalam dideteksi dalam efluen venosa ovarium yang
membawa folikel praovulatorik sedini hari 10 siklus. Peningkatan kecil namun
bermakna dalam produksi progesteron pada masa praovulatorik ini memiliki arti
fisologis yang sangat penting. Sebelumnya munculnya progesteron folikuler ini,
kadar progesteron dalam sirkulasi diperoleh dari kelenjar adrenal.
Reseptor-reseptor progesteron mulai tampak dalam sel-sel granulose
folikel dominan pada masa periovulatorik. Data-data eksperimental pada monyet
memberi bukti yang baik bahwa LH merangsang ekspresi reseptor-reseptor
progesteron dalam sel-sel granulosa. Data-data in vitro menggunakan sel-sel
manusia menunjukkan bahwa progesteron praovulatorik dan ekspresi
reseptor-reseptor progesteron secara langsung menghambat mitosis sel granulosa,
mungkin menjelaskan keterbatasan proliferasi sel granulosa saat sel-sel ini
memperoleh reseptor LH.
Progesteron mempengaruhi respon umpan balik positif terhadap estrogen
dengan cara yang bergantung pada waktu dan dosis. Jika diberikan setelah
pematangan estrogen yang adekua, progesteron memfasilitasi respon umpan balik
positif, dalam aksi langsung pada pituitari, dan pada adaya kadar estradiol
dibawah ambang batas dapat menginduksi peningkatan tajam LH yang khas. Karena
itu, onset ovulasi yang mengejutkan kadang-kadang dapat dijumpai pada wanita
amenorik anovulatorik yang mendapat tes progestin. Jika diberikan sebelum
stimulus estrogen, atau dalam dosis tinggi (mencapai kadar dalam darah lebih
dari 2 ng/mL), progesteron memblokade peningkatan tajam LH pada pertengahan
siklus.
Progesteron dalam kadar rendah yang sesuai yang diperoleh dari folikel
yang mengalami maturasi ikut berperan bagi ketepatan sinkronisasi peningkatan
tajam pada pertengahan siklus. Disamping kerja fasilitatoriknya pada LH,
progesteron pada pertengahan siklus sangat bertanggung-jawab untuk peningkatan
tajam LH. Aksi progesteron ini dapat
dipandang sebagai satu langkah lebih lanjut dalam memastikan selesainya kerja
FSH pada folikel, terutama memastikan bahwa sebuah komplemen penuh
reseptor-reseptor LH terdapat dalam lapisan granulosa.
Dalam situasi-situasi eksperimental tertentu, peningkatan estradiol secara
bertahap saja dapat memicu peningkatan tajam LH dan FSH yang simultan,
menunjukkan bahwa progesteron memang memperbaiki efek estradiol tetapi tidak
bersifat obligatorik. Namun demikian, blokade sintesis atau aktivitas
progesteron pada pertengahan siklus pada monyet mengganggu proses ovulatorik
dan luteinisasi. Kerja estrogen dan progesteron ini memerlukan adanya kerja
GnRH yang kontinyu.
Masa praovulatorik dikaitkan dengan peningkatan kadar
17α-hidroksiprogesteron dalam plasma. Steroid ini tampaknya tidak memiliki
peranan dalam regulasi siklus, dan keberadaannya dalam darah hanya
menggambarkan adanya sekresi suatu produk intermediet. Namun demikian, steroid
ini memberi sinyal bagi stimulasi P450scc dan P450c17 oleh LH, aktivitas enzim
yang penting bagi produksi androgen teka, substrat untuk estrogen granulosa.
Setelah ovulasi, beberapa sel teka mengalami luteinisasi sebagai bagian dari
korpus luteum dan kehilangan kemampuan untuk memproduksi androgen untuk
aromatisasi menjadi estrogen.
Jika folikel yang kurang berkembang gagal mencapai maturitas penuh dan
menjalani atresia, sel-sel teka kembali kepada asalnya sebagai komponen dari
jaringan stroma, namun mempertahankan kemampuan untuk merespon kepada LH dengan
aktivitas P450 dan produksi steroid. Karena produk dari jaringan teka adalah androgen,
peningkatan jaringan stroma pada fase folikuler lanjut dikaitkan dengan
peningkatan kadar androgen dalam plasma perifer pada pertengahan siklus.
Terdapat peningkatan androstenedion sebesar 15% dan testosteron sebesar 20%.
Respon ini ditingkatkan oleh peningkatan inhibin, yang diketahui akan
memperbaiki stimulasi produksi androgen oleh LH dalam sel-sel teka.
Produksi androgen pada tahapan siklus ini mungkin memiliki dua tujuan:
(1) peranan lokal dalam ovarium untuk memperbaiki proses atresia pada folikel-folikel
yang kurang berkembang, dan (2) efek sistemik untuk merangsang libido.
Androgen intraovarium mempercepat kematian sel granulosa dan atresia
folikuler. Mekanisme spesifik untuk hal ini tidak jelas, namun adalah menarik
untuk mencurigai adanya interferensi dengan estrogen dan faktor-faktor
autokrin-parakrn dalam memperbaiki aktivitas FSH. Karena itu, androgen mungkin
memegang peranan regulatorik dalam memastikan bahwa hanya folikel yang dominan
saja yang mencapai ovulasi.
Telah diketahui dengan baik bahwa libido dapat dirangsang oleh
androgen. Jika peningkatan androgen pada pertengahan siklus mempengaruhi
libido, maka peningkatan aktivitas seksual harus terjadi bersamaan dengan hal
ini. Studi-studi awal gagal menunjukkan pola konsisten dalam frekuensi koitus
pada wanita karena adanya efek inisiasi pasangan pria. Jika hanya perilaku
seksual yang diinisiasi oleh wanita yang dipelajari, dijumpai puncak aktivitas
seksual yang diinisiasi oleh wanita selama fase ovulatorik siklus. Frekuensi koitus pasangan-pasangan
yang telah menikah juga tampak meningkat pada saat ovulasi. Karena itu,
peningkatan androgen pada pertengahan siklus dapat meningkatkan aktivitas
seksual pada saat dimana kemungkinan terjadinya kehamilan paling besar.
Ringkasan Kejadian-kejadian Kunci dalam Folikel Praovulatorik
1. Produksi estrogen menjadi
cukup untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi ambang batas perifer
estradiol yang diperlukan untuk menginduksi peningkatan tajam LH.
2. Dengan bekerja melalui reseptornya, LH menginisiasi
luteinisasi dan produksi progesteron dalam lapisan granulosa.
3. Peningkatan progesteron praovulatorik memfasilitasi
kerja umpan balik positif estrogen dan mungkin diperlukan untuk menginduksi
pemuncakan FSH pada pertengahan siklus.
4. Terjadi peningkatan androgen lokal dan perifer pada
pertengahan siklus, derivat dari jaringan teka dari folikel-folikel yang gagal
dan kurang berkembang.
2.2. Ovulasi
Folikel praovulatorik, melalui kerjasama estradiol, menyediakan
stimulus ovulatoriknya sendiri. Terdapat variasi yang cukup besar dalam
penentuan waktu dari siklus ke siklus, bahkan pada wanita yang sama. Perkiraan
yang masuk akal dan akurat menempatkan ovulasi kurang lebih 10-12 jam setelah
LH mencapai puncak dan 24-36 jam setelah kadar puncak estradiol tercapai. Onset
peningkatan tajam LH merupakan indikator yang paling dapat diandalkan sebagai
tanda adanya ovulasi yang akan segera terjadi, yang terjadi 34-36 jam sebelum
rupturnya folikel. Sebuah ambang batas konsentrasi LH harus dipertahankan
selama setidaknya 14-27 jam agar maturasi penuh oosit dapat terjadi. Biasanya
peningkatan tajam LH berlangsung 48-50 jam.
Peningkatan tajam LH cenderung terjadi pada sekitar jam 3.00 pagi,
dimulai antara tengah malam dan jam 8.00 pagi, pada lebih dari dua pertiga wanita.
Ovulasi terjadi terutama pada pagi hari selama Musing Semi, dan tertuama pada
malam hari selama Musim Gugur dan Musin Dingin. Dari bulan Juli sampai Februai
di Belahan Bumi Utara, sekitar 90% wanita mengalami ovulasi antara jam 4.00 dan
jam 7.00 malam; selama Musim Semi, 50% wanita mengalami ovulasi antara tengah
malah dan jam 11.00 pagi. Kebanyakan
studi telah menyimpulkan bahwa ovulasi terjadi lebih sering (hampir 55%) pada
ovarium kanan dibandingkan ovarium kiri, dan oosit dari ovarium kanan memiliki
potensi kehamilan lebih tinggi. Sisi mana yang mengalami ovulasi tidak
mempengaruhi karakteristik siklus, tetapi siklus dengan fase folikuler pendek
cenderung diikuti oleh ovulasi kontralateral, dan ovulasi terjadi secara acak
setelah siklus dengan fase folikuler panjang. Ovulasi yang terjadi bergantian
antara kedua ovarium merupakan hal yang mendominasi siklus pada wanita-wanita
yang lebih muda, tetapi setelah usia 30 tahun ovulasi terjadi lebih sering dari
ovarium yang sama; namun, selama masa reproduktif lebih banyak ovulasi yang
terjadi dari ovarium kanan. Kehamilan lebih besar kemungkinannya terjadi pada
ovulasi kontralateral daripada ovulasi ipsilateral, dan ovuilasi ipsilateral
meningkat dengan pertambahan usia dan berkurangnya fertilitas.
Peningkatan tajam gonadotropin merangsang sejumlah kejadian yang
akhirnya menyebabkan ovulasi, pelepasn fisik oosit dan massa kumulus sel-sel
granulosanya. Ini bukan merupakan kejadian yang eksplosif; karena itu, harus
terjadi suatu seri perubahan kompleks yang menyebabkan maturasi akhir oosit dan
dekomposisi lapiran kolagenosa dari dinding folikuler.
Peningkatan tajam LH menginisiasi miosis dalam oosit (miosis tidaklah selesai sampai sperma telah masuk dan
badan polar kedua dilepaskan), luteinisasi sel-sel granulosa, ekspansi kumulus,
dan sintesis prostaglandin dan eikosanoid-eikosanoid lain yang penting untuk
ruptur folikel. Maturasi oosit dan luteinisasi yang prematur dicegah oleh
faktor-faktor lokal. Aktivitas siklik AMP yang diinduksi oleh LH dapat
mengatasi kerja inhibitorik lokal dari inhibitor maturasi oosit (OMI) dan
inhibitor luteinisasi (LI). LI dapat berupa endotelin-1, suatu produk dari
sel-sel endotel vaskuler. OMI berasal dari sel-sel granulosa, dan aktivitasnya
bergantung pada kumulus ooforus yang intak. Aktivin juga menekan produksi
progesteron oleh sel-sel luteal, memberikan sebuah cara lain untuk mencegah
luteinisasi prematur.
Terdapat banyak sekali bukti bahwa oosit memiliki kontrol terhadap
fungsi granulosa. Kumulus ooforus berbeda dari sel-sel granulosa lain, yaitu
tidak memiliki reseptor LH dan tidak memproduksi progesteron. Ekspresi reseptor
LH yang diinduksi oleh FSH dalam sel-sel granulosa yang saling berkaitan
mengalami supresi oleh oosit. Oosit memungkinkan sel-sel kumulus untuk merespon
kepada perubahan-perubahan fisik dan biokimiawi yang diinduksi oleh
gonadotropin tidak lama sebelum ovulasi. Faktor-faktor
lokal yang menceagh maturasi oosit dan luteinisasi premature mungkin berada
dibawah kontrol oosit.
Dengan peningkatan tajam LH, kadar progesteron dalam folikel terus
meningkat sampai terjadi ovulasi. Peningkatan progresif dalam kadar progesteron
ini dapat bertindak menghentikan peningkatan tajam LH saat dikeluarkannya efek
umpan balik negatif pada konsentrasi yang lebih tinggi. Disamping efek sentralnya,
progesteron meningkatkan distensibilitas dinding folikel. Perubahan sifat
elastis dinding folikel diperlukan untuk menjelaskan peningkatan cepat volume
cairan folikuler, yang terjadi segera sebelum ovulasi, tanpa disertai oleh
perubahan bermakna dalam tekanan intrafolikuler. Lepasnya ovum dikaitkan dengan
perubahan-perubahan degeneratif kolagen dalam dinding folikuler sehingga tidak
lama sebelum ovulasi dinding folikel menjadi tipis dan teregang. FSH, LH, dan
progesteron merangsang aktivitas enzim-enzim proteolitik, mengakibatkan digesti
kolagen dalam dinding folikuler dan meningkatkan distensibilitas dinding
folikuler. Peningkatan tajam gonadotropin juga melepaskan histamin, dan
histamin saja dapat menginduksi ovulasi pada beberapa model percobaan.
Enzim-enzim proteolitik diaktivasi dalam urutan yang teratur. Sel-sel
granulosa dan teka memproduksi aktivator plasminogen sebagai respon terhadap
peningkatan tajam gonadotropin. Plasminogen diaktivasi oleh salah satu dari dua
aktivator plasminogen: aktivator plasminogen tipe jaringan dan aktivator
plasminogen tipe urokinase. Aktivator-aktivator ini dikode oleh gen-gen yang
terpisah dan diatur juga oleh inhibitor.
Aktivator plasminogen yang diproduksi oleh sel-sel granulosa
mengaktivasi plasminogen dalam cairan folikuler untuk memproduksi plasmin.
Selanjutnya, plasmin memproduksi kolagenase aktif untuk memecah dinding
folikuler. Pada model hewan coba tikus, sintesis aktivator plasminogen dipicu
oleh stimulasi LH (maupun growth factor dan FSH), sedangkan sintesis
inhibitor plasminogen menurun. Karenanya, sebelum dan setelah ovulasi,
aktivitas inhibitor tinggi, tetapi pada saat ovulasi, aktivitas aktivator
tinggi dan inhibitor berada pada nadirnya. Regulasi molekuler dari
faktor-faktor ini diperlukan untuk terjadinya koordinasi yang menyebabkan
ovulasi. Sintesis aktivator plasminogen dalm sel-sel granulosa diekspresikan
hanya pada tahap praovulatorik yang tepat sebagai respon terhadap LH. Sistem
inhibitor, yang sangat aktif dalam sel-sel teka dan sel-sel interstisial,
mencegah tidak tepatnya aktivasi plasminogen dan disrupsi folikel-folikel yang
sedang bertumbuh. Sistem inhibitor telah terbukti terdapat dalam sel-sel
granulosa manusia dan cairan folikuler praovulatorik dan responsif terhadap
substansi-substansi parakrin, epidermal
growth factor, dan
interleukin-1β. Pergerakan folikel yang akan mengalami ovulasi menuju ke permukaan
ovarium penting dalam hal bahwa permukaan folikel yang terpapar sekarang rentan
terhadap ruptur karena terpisah dari sel-sel yang kaya akan sistem inhibitor
plasminogen. Ovulasi terjadi akibat digesti proteolitik apeks folikuler, sebuah
daerah yang disebut stigma.
Prostaglandin seri E dan F dan eikosanoid-eikosanoid lain (terutama
HETE, ester metil asam hidroksieikotetraenoat) menunjukkan peningkatan nyata
dalam cairan folikuler praovulatorik, mencapai konsentrasi puncak saat ovulasi.
Sintesis prostaglandin dirangsang oleh interleukin-1β,
sehingga mengimplikasikan sitokin ini dalam ovulasi. Inhibisi sintesis
produk-produk ini dari asam arakidonat memblokade rupturnya folikel tanpa
mempengaruhi proses-proses lain yang diinduksi oleh LH yaitu luteinisasi,
steroidogenesis, dan maturasi oosit. Prostaglandin dapat bekerja membebaskan
enzim-enzim proteolitik dalam dinding folikuler, dan HETE dapat mendorong
angiogenesis dan hiperemi (suatu respon yang menyerupai inflamasi).
Prostaglandin juga dapat menyebabkan kontraksi otot polos yang pernah diidentifikasikan
dalam ovarium, sehingga membantu penonjolan massa oosit-sel kumulus. Peranan prostaglandin ini telah diketahui dengan sangat
baik sehingga pasien-pasien dengan infertilias harus disarankan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan yang menghambat sintesis prostaglandin.
Sejumlah besar lekosit masuk kedalam folikel sebelum ovulasi. Netrofil
merupakan gambaran menonjol dalam kompartemen teka dari folikel-folikel sehat
maupun folikel-folikel antral atretik. Akumulasi lekosit dimediasi oleh mekanisme
kemotaktik dari sistem interleukin. Sel-sel imun ini mungkin ikut menyumbang
untuk terjadinya perubahan-perubahan seluler yang dikaitkan dengan ovulasi,
fungsi korpus luteum, dan apoptosis.
Kadar estradiol menurun saat LH mencapai puncaknya. Ini mungkin
merupakan akibat dari down-regulasi LH terhadap reseptor-reseptornya sendiri pada folikel.
Jaringan teka yang berasal dari folikel-folikel antral yang sehat menunjukkan
supresi steroidogenesis yang nyata saat dipaparkan terhadap LH dalam kadar
tinggi, sedangkan pemaparan terhadap kadar rendah merangsang produksi steroid.
Rendahnya kadar progesteron pada pertengahan siklus menyebabkan aksi
inhibitorik pada multiplikasi sel granulosa lebih lanjut, dan penurunan
estrogen mungkin juga mencerminkan peranan folikuler lokal dari progesteron
ini. Akhirnya, estrogen dapat menyebabkan efek inhibitorik pada P450c17, sebuah
aksi langsung pada gen yang tidak dimediasi oleh reseptor.
Sel-sel granulosa yang melekat pada membran basement dan mengelilingi folikel menjadi sel-sel luteal.
Sel-sel granulosa kumulus melekat pada oosit. Pada tikus, sel-sel kumulus
secara metabolik berkaitan dengan oosit dan merespon kepada peningkatan tajam
FSH dengan mensekresi asam hialuronat, yang menyebabkan dispersi sel-sel
kumulus sebelum ovulasi. Respon asam hialuronat ini bergantung pada
dipertahankannya kaitan dengan oosit, menunjukkan adanya sekresi suatu faktor
pendukung. Oosit lebih lanjut mensekresi faktor-faktor yang mendorong
proliferasi sel granulosa dan mempertahankan organisasi struktural folikel.
Proliferasi sel-sel kumulus ditekan oleh FSH, sebaliknya FSH merangsang
proliferasi sel granulosa mural, didukung oleh faktor atau faktor-faktor oosit.
Pemuncakan FSH, sebagian dan mungkin benar-benar bergantung pada
peningkatan progesteron praovulatorik, memiliki beberapa fungsi. Produksi
aktivator plasminogen sensitif terhadap FSH maupun LH. Ekspansi dan dispersi
sel-sel kumulus memungkinkan massa oosit-sel kumulus berenang bebas dalam
cairan antral tepat sebelum folikel pecah. Proses ini melibatkan deposisi
matriks asam hialuronat, yang sintesisnya dirangsang oleh FSH. Akhirnya,
pemuncakan FSH yang adekuat memastikan adanya komplemen reseptor LH yang
adekuat pada lapisan granulosa. Harus dicatat bahwa fase luteal yang memendek
atau inadekuat dijumpai pada siklus-siklus dimana FSH terdapat dalam kadar
rendah atau mengalami supresi selektif kapanpun selama fase folikuler.
Mekanisme yang menghentikan peningkatan tajam LH tidak diketahui. Dalam
beberapa jam setelah peningkatan LH, terdapat penurunan mendadak kadar estrogen
dalam sirkulasi. Penurunan LH dapat disebabkan oleh hilangnya kerja
stimulatorik positif dari estradiol atau oleh peningkatan umpan balik negatif
dari progesteron. Penurunan kadar LH secara mendadak juga dapat mencerminkan
deplesi kandungan LH dalam pituitari karena down-regulasi reseptor-reseptor GnRH, baik karena perubahan dalam frekuensi
pulsasi GnRH atau karena perubahan dalam kadar steroid. LH mungkin lebih lanjut dikontrol oleh umpan balik negatif
“pendek” dari LH pada hipotalamus. Supresi langsung yang disebabkan oleh
LH pada produksi hypothalamic-releasing
hormone pernah
ditunjukkan. Peningkatan tajam LH berakhir sebelum sinyal-sinyal GnRH mulai menurun.
Sebuah kemungkinan lain telah diajukan, yaitu suatu faktor penghambat
peningkatan tajam gonadotropin (GnSIF) yang berasal dari ovarium. GnSIF
diproduksi dalam sel-sel granulosa dibawah kontrol FSH dan mencapai kadar
puncak dalam sirkulasi pada fase midfolikuler. Peranan utamanya dianggap adalah
untuk mencegah luteinisasi prematur. Besar kemungkinannya bahwa kombinasi semua
pengaruh ini menyebabkan penurunan cepat dalam sekresi gonadotropin.
Banyaknya kontribusi progesteron bagi ovulasi ditonjolkan oleh
hasil-hasil percobaan-percobaan pada monyet. Supresi steroidogenesis pada
pertengahan siklus mencegah ovulasi, tetapi tidak mencegah berlanjutnya kembali
miosis oosit. Pemberian agonis progestin pada model eksperimental ini
mengembalikan ovulasi.
Peningkatan tajam gonadotropin yang adekuat tidak memastikan terjadinya
ovulasi. Folikel harus berada pada tahap kematangan yang tepat agar dapat
merespon kepada rangsang ovulatorik. Dalam siklus normal, pelepasan
gonadotropin dan maturasi akhir folikel terjadi bersamaan karena penentuan
waktu peningkatan tajam gonadotropin dikontrol oleh kadar estradiol, yang
sebaliknya merupakan fungsi dari pertumbuhan dan maturasi folikuler. Karena
itu, pelepasan gonadotropin dan maturasi morfologis biasanya terkoordinasi dan
terjadi bersamaan. Pada mayoritas siklus manusia, hubungan umpan balik yang
diperlukan dalam sistem ini hanya memungkinkan satu folikel mencapai titik
ovulasi. Kelahiran multipel nonidentik dapat, sebagian, mencerminkan
kemungkinan statistik acak dari adanya lebih dari satu folikel yang memenuhi
persyaratan untuk ovulasi.
Ringkasan
Kejadian-kejadian Ovulatorik Kunci
1.
Peningkatan
tajam LH menginisiasi berlanjutnya miosis dalam oosit, luteinisasi granulosa,
dan sintesis progesteron dan prostaglandin dalam folikel.
2.
Progesteron
memperbaiki aktivitas enzim-enzim proteolitik yang, bersama dengan
prostaglandin, bertanggung-jawab untuk digesti dan ruptur dinding folikuler.
3.
Peningkatan FSH
pada pertengahan siklus yang dipengaruhi oleh progesteron bertindak membebaskan
oosit dari perlekatan folikuler, untuk mengubah plasminogen menjadi enzim
proteolitik, plasmin, dan untuk memastikan adanya cukup reseptor LH untuk
memungkinkan terjadinya fase luteal normal yang adekuat.
2.3. Fase Luteal
Sebelum terjadinya ruptur folikel dan pelepasan ovum, sel-sel granulosa
mulai bertambah besar dan memiliki gambaran bervakuolisasi yang dikaitkan
dengan akumulasi pigmen kuning, lutein, yang mendapatkan namanya dari proses
luteinisasi dan subunit anatomis, korpus luteum. Selama 3 hari pertama setelah
ovulasi, sel-sel granulosa terus membesar. Disamping itu, sel-sel teka lutein
dapat berdiferensiasi dari teka dan stroma disekitarnya untuk menjadi bagian
dari korpus luteum. Disolusi lamina basalis dan vaskularisasi dan luteinisasi
cepat menyebabkan sulitnya membedakan asal sel-sel spesifik.
Kapiler-kapiler mulai menembus kedalam lapisan granulosa setelah
berhentinya peningkatan tajam LH, mencapai kavitas sentral, dan seringkali
mengisi ruang tersebut dengan darah. Angiogenesis merupakan gambaran penting
dari proses luteinisasi, suatu respon terhadap LH yang dimediasi oleh growth
factor seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF)
dan angiopoietin yang diproduksi dalam sel-sel granulosa luteinisasi. Pada fase
luteal dini, angiogenesis menyertai peningkatan ekspresi VEGF, disertai dengan
stabilisasi pertumbuhan pembuluh darah yang dipertahankan oleh angiopoietin-1
yang berikatan dengan reseptor Tie-2 endotel. Dengan regresi korpus luteum,
ekspresi VEGF dan angiopoietin-1 menurun sehingga memungkinkan lebih besarnya
pendudukan reseptor Tie-2 oleh angiopoietin-2, menyebabkan peluruhan vaskuler
yang menyertai luteolisis.
Pada hari 8 atau 9 setelah ovulasi, tercapai puncak vaskularisasi,
dikaitkan dengan kadar puncak progesteron dan estradiol dalam darah. Korpus
luteum merupakan salah satu struktur dengan aliran darah tertinggi tiap unit
massa dalam tubuh. Kadang-kadang, pertumbuhan pembuluh darah kedalam dan
perdarahan ini menyebabkan perdarahany yang tidak diketahui dan menjadi
kedaruratan bedah akut yang dapat terjadi kapan saja selama fase luteal.
Memang, ini merupakan resiko klinis yang bermakna pada wanita-wanita yang
mendapat antikoagulan; wanita-wanita demikian harus mendapat medikasi untuk
mencegah ovulasi.
Fungsi luteal normal memerlukan perkembangan folikuler praovulatorik
yang optimal. Supresi FSH selama fase folikuler dikaitkan dengan kadar
estradiol praovulatorik yang lebih rendah, penekanan produksi progesteron pada
fase midluteal, dan penurunan massa sel luteal. Bukti eksperimental mendukung
pendapat bahwa akumulasi reseptor LH selama fase folikuler telah menentukan
terlebih dahulu sejauh mana luteinisasi dan kapasitas fungsional selanjutnya
dari korpus luteum. Keberhasilan konversi granulosa avaskuler fase folikuler
menjadi jaringan luteal tervaskularisasi juga memiliki arti penting. Karena
produksi steroid bergantung pada transpor kolesterol oleh lipoprotein densitas
rendah (LDL), vaskularisasi lapisan granulosa penting untuk memungkinkan
LDL-kolesterol mencapai sel-sel luteal untuk menyediakan cukup substrat bagi
produksi progesteron. Salah satu tugas penting LH adalah untuk mengatur
pengikatan reseptor LDL, internalisasi, dan pemrosesan pasca reseptor; induksi
ekspresi reseptor LDL terjadi dalam sel-sel granulosa selama tahap dini
luteinisasi sebagai respon terhadap peningkatan tajam LH pada pertengahan
siklus. Mekanisme ini menyediakan kolesterol bagi mitokondria untuk
dipergunakan sebagai blok pembangun dasar dalam steroidogenesis.
Waktu hidup dan kapasitas steroidogenik korpus luteum bergantung pada
sekresi LH tonik yang kontinyu. Studi-studi pada wanita-wanita yang telah
menjalani hipofisektomi telah menunjukkan bahwa fungsi korpus luteum normal
memerlukan keberadaan sejumlah kecil LH secara kontinyu. Ketergantungan korpus
luteum pada LH lebih lanjut didukung oleh luteolisis yang segera terjadi
setelah pemberian agonis atau antagonis GnRH atau withdrawal GnRH saat ovulasi telah diinduksi oleh pemberian GnRH pulsatil. Tidak
ada bukti bhwa hormon-hormon luteotropik lain, seperti prolaktin, memegang
peranan selama siklus menstruasi pada primata.
Korpus luteum tidaklah homogen. Disamping sel-sel luteal, terdapat juga sel-sel endotel, lekosit, dan
fibroblas. Sel-sel nonsteroidogenik membentuk sebagian besar (70-85%) dari
seluruh populasi sel. Sel-sel imun lekosit memproduksi beberapa sitokin,
termasuk interleukon-1β dan faktor nekrosis tumor-α. Banyaknya lekosit yang berbeda dalam korpus luteum juga merupakan
sumber yang kaya untuk enzim-enzim sitolitik, prostaglandin, dan growth factor yang terlibat dalam angiogenesis, steroidogenesis, dan luteolisis.
Bahkan populasi sel luteal tidaklah homogen, terdiri dari setidaknya
dua tipe sel yang berbeda, sel-sel besar dan kecil. Beberapa ahli percaya bahwa
sel-sel besar berasal dari sel-sel granulosa dan sel-sel kecil berasal dari
sel-sel teka. Sel-sel kecil merupakan sel yang paling banyak. Walaupun terdapat
fakta bahwa steroidogenesis yang lebih besar terjadi pada sel-sel besar, adalah
sel-sel kecil yang mengandung reseptor LH dan hCG. Tidak adanya reseptor LH/hCG
pada sel-sel besar, yang diperkirakan berasal dari sel-sel granulosa yang
memperoleh reseptor LH pada fase folikuler lanjut, memerlukan penjelasan.
Mungkin sel-sel besar berfungsi maksimal dengan reseptor benar-benar terduduki
dan fungsional, atau karena komunikasi antarsel melalui gap junction, sel-sel besar tidak memerlukan dukungan gonadotropin langsung.
Karenanya, sel-sel besar dapat berfungsi pada kadar tinggi, dibawah kontrol
faktor-faktor regulatorik yang berasal dari sel-sel kecil sebagai respon
terhadap gonadotropin. Disamping itu, fungsi secara umumnya dipengaruhi oleh
sinyal-sinyal autokrin-parakrin dari sel-sel endotel dan sel-sel imun.
Sel-sel luteal besar memproduksi peptoda (oksitosin, relaksin, inhibin,
dan growth factor lain) dan lebih aktif dalam
steroidogenesis, dengan aktivitas aromatase lebih besar dan lebih banyak
sintesis progesteron daripada sel-sel kecil. Sel-sel granulosa manusia (telah
mengalami luteinisasi saat diperoleh dari pasien-pasien yang menjalani
fertilisasi in vitro) mengandung mRNA P450c17 dalam jumlah minimal. Hal ini
konsisten dengan penjelasan dua-sel, yang menugaskan produksi androgen (dan
P450c17) pada sel-sel yang berasal dari sel-sel teka. Dengan luteinisasi,
ekspresi P450scc dan 3β-hidroksisteroid dehidrogenase
mengalami peningkatan nyata seperti yang diperkirakan, untuk menjelaskan
peningkatan produksi progesteron, dan terus diekspresikannya mRNA untuk
enzim-enzim ini memerlukan LH. Tentu saja sistem aromatase (P450arom) tetap aktif dalam sel-sel
granulosa luteinisasi.
Kadar progesteron normalnya meningkat tajam setelah ovulasi, mencapai
puncak sekitar 8 hari setelah peningkatan tajam LH. Inisiasi pertumbuhan
folikuler baru selama fase luteal dihambat oleh rendahnya kadar gonadotropin
akibat aksi umpan balik negatif estrogen, progesteron, dan inhibin-A. Dengan
muncuilnya reseptor-reseptor LH pada se-sel granulosa dari folikel yang dominan
dan perkembangan folikel selanjutnya menjadi korpus luteum, ekspresi inhibin
akan berada dibawah kontrol LH, dan ekspresi akan berubah dari inhibin-B
menjadi inhibin-A. kadar inhibin-A dalam sirkulasi mengalami peningkatan pada
fase folikuler lanjut untuk mencapai kadar puncak pada fase midluteal. Karena
itu, inhibin-A ikut menyumbang untuk terjadinya supresi FSH mencapai kadar
nadir selama fase luteal, dan untuk terjadinya perubahan-perubahan pada saat
transisi fase luteal-fase folikuler.
Sekresi progesteron dan estradiol selama fase luteal bersifat episodik,
dan perubahan-perubahan yang terjadi berkorelasi erat dengan pulsasi LH. Karena
sekresi episodik inilah, kadar progesteron yang relatif rendah pada fase
midluteal, yang oleh beberapa ahli dianggap menunjukkan fase luteal yang
inadekuat, dapat dijumpai dalam perjalanan fase luteal yang benar-benar normal.
Dalam siklus normal jangka waktu dari peningkatan tajam LH pada
pertengahan siklus sampai terjadinya menstruasi selalu kurang lebih 14 hari.
Untuk tujuan praktis, fase luteal yang berlangsung antara 11 dan 17 hari dapat
dianggap normal. Insiden fase luteal pendek adalah sekitar 5-6%. Telah
diketahui dengan baik bahwa variabiltas
besar dalam panjang siklus antar wanita disebabkan oleh bervariasinya jumlah
hari yang diperlukan untuk pertumbuhan dan maturasi folikuler pada fase
folikuler. Fase luteal tidak dapat diperpanjang tanpa batas tertentu bahkan
dengan terus menambah paparan LH, ini menunjukkan bahwa kerusakan korpus luteum
disebabkan oleh mekanisme luteolitik aktif.
Korpus luteum segera menurun 9-11
hari setelah ovulasi, dan mekanisme denegerasinya masih belum diketahui. Faktor luteolitik yang berasal dari dalam uterus (prostaglandin F2α)
mengatur masa hidup korpus luteum. Belum ada faktor luteolitik pasti yang telah
diidentifikasi dalam siklus menstruasi primata, dan pengangkatan uterus pada
primata tidak mempengaruhi siklus ovarium. Regresi morfologis sel-sel luteal
dapat diinduksi oleh estradiol yang diproduksi oleh korpus luteum. Peningkatan
prematur kadar estradiol dalam sirkulasi pada fase luteal dini menyebabkan
penurunan segera konsentrasi progesteron. Injeksi langsung estradiol kedalam
ovarium yang membawa korpus luteum menginduksi luteolisis sementara perlakuan
yang sama pada ovarium kontralateral tidak menimbulkan efek apapun. Aksi
estrogen ini mungkin dimediasi oleh nitrit oksida. Nitrit oksida merangsang
sintesis prostaglandin luteal dan menurunkan produksi progesteron. Nitrit
oksida dan hCG memilki kerja yang berlawan dalam korpus luteum manusia; nitrit
oksida dikaitkan dengan apoptosis sel-sel luteal. Namun, sinyal akhir untuk
luteolisis adalah prostaglandin F2α, yang diproduksi dalam ovarium
sebagai respon terhadap estrogen luteal disintesis secara lokal.
Ada satu kemungkinan lain mengenai peranan estrogen yang diproduksi
oleh korpus luteum. Dengan melihat kebutuhan estrogen untuk sintesis reseptor
progesteron dalam endometrium, estrogen fase luteal mungkin diperlukan untuk
memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang diinduksi oleh progesteron
dalam endometrium setelah ovulasi. Kandungan reseptor progesteron yang
inadekuat karena pematangan estrogen yang inadekuat merupakan suatu kemungkinan
mekanisme lain untuk terjadinya infertilitas atau abortus ini, suatu bentuk
lain defisiensi fase luteal.
Bukti eksperimental menunjukkan bahwa dampak luteolitik prostaglandin F2α
sebagian dimediasi oleh endotelin-1. Prostaglandin F2α merangsang
sintesis endotelin; endotelin-1 menghambat steroidogenesis luteal, dan
sebaliknya, endotelin-1 merangsang produksi prostaglandin dalam sel-sel luteal.
Disamping itu, endotelin-1 merangsang pelepasan faktor nekrosis tumor-α, suatu
growth factor yang diketahui menginduksi apoptosis.
Korpus luteum melibatkan interaksi seluler yang memerlukan kontak
sel-dengan-sel. Gap junction merupakan gambaran menonjol
dari sel-sel luteal, seperti juga dalam folikel sebelum ovulasi. Jika berbagai
tipe sel korpus luteum dipelajari bersama-sama, performanya berbeda
dibandingkan dengan studi-studi tipe-tipe sel tunggal, steroidogenesis yang
lebih besar lebih mendekati fungsi total korpus luteum. Diyakini bahwa
komunikasi dan pertukaran sinyal terjadi melalui struktur gap junction, ini menjelaskan bagaimana sel-sel kecil merespon kepada LH dan hCG,
tetapi sel-sel besar merupakan tempat utama steroidogenesis. Regulasi sistem gap junction dipengaruhi oleh oksitosin, ini merupakan peranan parakrin oksitosin
dalam korpus luteum.
Jika ovulasi diinduksi dengan pemberian GnRH, kerusakan fase luteal
normal tetap erjadi walaupun tidak ada perubahan pelakukan, hal ini membantah
pendapat mengenai perubahan LH sebagai mekanisme luteolitik. Disamping itu,
afinitas pengikatan reseptor LH tidak mengalami perubahan sepanjang fase luteal;
karenanya penurunan steroidogenesis pasti mencerminkan deaktivasi sistem
(sehingga menyebabkan korpus luteum refrakter terhadap LH), mungkin melalui uncoupling sistem adenilat siklase protein G. Hal ini didukung oleh studi-studi
pada monyet dimana perubahan frekuensi atau amplitudo pulsasi LH tidak
menyebabkan luteolisis.
Proses luteolisis melibatkan enzim-enzim proteolitik, terutama matriks
metaloproteinase (MMP). Enzim-enzim ini berada dibawah kontrol inhibitorik oleh
inhibitor jaringan metaloproteinase (TIMP) yang disekresi oleh sel-sel luteal
steroidogenik, dan karena kadar TIMP tidak mengalami perubahan dalam jaringan
luteal sampai akhir fase luteal, luteolisis dianggap melibatkan penigkatan
langsung ekspresi MMP. Sebuah bagian penting dari misi human chorionic gonadotropin (hCG) (salah satu cara
penghindaran apoptosis) adalah untuk mencegah peningkatan ekspresi MMP ini.
para peneliti lain telah mengindikasikan bahwa hCG dapat meningkatkan produksi
TIMP, dan hal ini akan menghambat aktivitas MMP dan luteolisis. Disamping itu,
ovarium manusia mengandung sistem interleukin-1 lengkap, sehingga menyediakan
sebuah sumber lain untuk enzim-enzim sitolitik.
Survival korpus luteum dapat diperpanjang dengan munculnya suatu
stimulus baru dengan intensitas yang meningkat cengan cepat, yaitu hCG.
Stimulus baru ini pertama kali muncul pada puncak perkembangan korpus luteum
(9-13 hari setelah ovulasi), tepat pada waktunya untuk mencegah regresi luteal.
hCG bertindak mempertahankan steroidogenesis vital korpus luteum sampai kurang
lebih minggu kesembilan atau kesepuluh masa gestasi, pada saat mana
steroidogenesis plasenta telah terjadi. Pada sejumlah kehamilan steroidogenesis
plasenta telah terjadi pada minggu ketujuh. Disamping itu, penyelamatan korpus
luteum oleh kehamilan dini dengan hCG dikaitkan dengan pemeliharaan sistem
vaskuler (bukan pertumbuhan pembuluh darah baru), suatu proses yang bergantung
pada faktor-faktor angiogenik VEGF dan angiopoietin-2.
Berlainan dengan pola bifasik yang ditunjukkan oleh kadar progesteron
dalam sirkulasi (penurunan setelah ovulasi dan kemudian puncak baru yang lebih
tinggi pada fase midluteal), kadar mRNA untuk kedua enzim utama yang terlibat
dalam sintesis progesteron (pembelahan rantai samping kolesterol dan
3β-hidroksisteroid dehidrogenase) mencapai maksimal pada saat ovulasi dan
menurun sepanjang fase luteal. Hal ini menunjukkan bahwa masa hidup korpus
luteum ditentukan pada saat ovulasi, dan regresi luteal tidak dapat dihindari
kecuali korpus luteum diselamatkan oleh hCG kehamilan. Karena
itu, primata telah mengembangkan sebuah sistem yang memerlukan penyelamatan
korpus luteum, berlawanan dengan binatang-binatang yang lebih rendah yang
menggunakan mekanisme yang secara aktif menyebabkan kerusakan korpus luteum
(luteolisis).
Ringkasan Kejadian-kejadian Kunci pada Fase Luteal
1. Fungsi luteal normal
memerlukan perkembangan folikuler praovulatorik yang optimal (terutama
stimulasi FSH yang adekuat) dan adanya dukungan FSH tonik secara kontinyu.
2. Fase luteal dini ditandai oleh
angiogenesis aktif yang dimediasi oleh VEGF. Pertumbuhan pembuluh darah baru
diatur oleh angiopoietin-1 yang bekerja melalui reseptornya yaitu Tie-2 pada
sel-sel endotel. Regresi korpus luteum dikaitkan dengan penurunan ekspresi VEGF dan
angiopoietin-1 dan peningkatan aktivitas angiopoietin-2.
3. Progesteron, estradiol, dan
inhibin-A bekerja secara sentral untuk menekan gonadotropin dan pertumbuhan
folikuler baru.
4. Regresi korpus luteum dapat
melibatkan kerja luteolitik dari produksi estrogennya sendiri, dimediasi oleh perubahan
dalam konsentrasi prostaglandin lokal dan melibatkan nitrit oksida, endotelin,
dan faktor-faktor lain.
5. Pada masa-masa awal kehamilan,
hCG menyelamatkan korpus luteum, mempertahankan fungsi luteal sampai
steroidogenesis plasenta telah terjadi.
2.4. Transisi Luteal-Folikuler
Intveral antara penurunan produksi estradiol dan progesteron pada fase
luteal lanjut sampai seleksi folikel yang dominan merupakan waktu yang penting
dan menentukan, ditandai oleh terjadinya menstruasi, tetapi yang tidak terlalu
jelas dan sangat penting adalah perubahan-perubahan hormon yang menginisiasi
siklus berikutnya. Faktor-faktor yang penting itu mencakup GnRH, FSH, LH,
estradiol, progesteron, dan inhibin.
Dengan mengingat pentingnya peranan aksi yang dimediasi oleh FSH pada
sel-sel granulosa, adalah tepat bahwa penarikan folikel baru yang sedang
mengalami ovulasi diatur oleh peningkatan selektif FSH yang dimulai sekitar 2
hari sebelum onset menstruasi. Dengan menggunakan bioassay FSH yang sensitif, peningkatan bioaktivitas FSH dapat diukur sejak
sedini fase midluteal. Terdapat setidaknya dua perubahan yang berpengaruh yang
menyebabkan peningkatan FSH yang penting ini: penurunan steroid dan inhibin
luteal dan perubahan sekresi GnRH pulsatil.
Inhibn-B, berasal dari sel-sel granulosa korpus luteum dan saat ini
dibawah regulasi LH, mencapai nadir dalam sirkulasi pada masa midluteal.
Inhibin-A mencapai puncak pada fase lutea, dan, karenanya, dapat membantu
menekan sekresi FSH oleh pituitari untuk mencapai kadar terendah yang dapat
dicapai selama siklus menstruasi. Proses luteolisis, apapun mekanismenya, yang
disertai dengan rusaknya korpus luteum, mempengaruhi sekresi inhibin-A maupun
steroidogenesis. Pemberian inhibin-A pada monyet efektif menekan FSH dalam
sirkulasi. Karenanya, sebuah pengaruh supresif penting pada sekresi FSH dibuang
dari pituitari anterior selama beberapa hari terakhir fase luteal. Kerja
selektif inhibin pada FSH (dan bukan LH) bertanggung-jawab sebagian untuk lebih
tingginya peningkatan FSH yang dijumpai selama transisi luteal-folikuler,
dibandingkan dengan perubahan LH. Pemberian FSh rekombinan (murni) pada
wanita-wanita dengan defisiensi gonadotropin telah menunjukkan bahwa
pertumbuhan dini folikel memerlukan FSH, dan bahwa LH tidaklah esensial selama
tahapan siklus ini.
Kadar inhibin-B mulai meningkat perlahan-lahan setelah peningkatan FSH
(sebagai akibat dari stimulasi FSh pada sekresi inhibin oleh sel-sel granulosa)
dan mencapai kadar puncak sekitar 4 hari setelah terjadi peningkatan maksimal
FSH. Karenanya, supresi sekresi FSH selama fase folikuler merupakan aksi yang
ditunjukkan oleh inhibin-B, sedangkan lolosnya inhibisi FSH selama transisi
luteal-folikuler sebagian merupakan respon terhadap menurunnya sekresi
inhibin-A oleh korpus luteum.
Kadar aktivin dalam sirkulasi mengalami peningkatan pada fase luteal
lanjut dan mencapai puncak pada saat menstruasi; namun, aktivin berada dalam
keadaan sangat terikat dalam sirkulasi, dan tidak jelas apakah aktivin memiliki
peranan endokrin. Namun demikian, waktunya adalah tepat bagi aktivin untuk ikut
berperan dalam peningkatan FSH selama transisi luteal-folikuler. Aktivin
memperbaiki dan folistatin menekan aktivitas GnRH. Bukti in vivo dan in vitro
menunjukkanbahwa respon gonadotropin terhadap GnRH memerlukan aktivitas
aktivin.
Peningkatan selektif FSH juga sangat dipengaruhi oleh perubahan dalam
sekresi GnRH pulsatil, yang sebelumnya sangat ditekan oleh tingginya kadar
estradiol dan progesteron fase luteal yang memberikan efek umpan balik negatif
pada hipotalamus. Peningkatan pulsasi GnRH secara progresif dan cepat (seperti
yang dinilai melalui pengukuran pulsasi LH) terjadi selama transisi
luteal-folikuler. Dari fase midluteal sampai terjadinya menstruasi, terdapat
4,5 kali lipat peningkatan frekuensi pulsasi LH (dan mungkin juga GnRH) dari
sekitar 3 pulsasi setiap 24 jam menjadi 14 pulsasi setiap 24 jam. Selama masa
ini, rata-rata kadar LH meningkat kurang lebih 2 kali lipat, dari sekitar
rata-rata 4,8 IU.L menjadi 8 IU/L. Peningkatan FSH, seperti yang terlihat,
lebih besar daripada peningkatan LH. Frekuensi pulsasi FSH meningkat 3,5 kali
lipat dari fase midluteal sampai saat terjadinya menstruasi, dan kadar FSH
meningkat dari rata-rata sekitar 4 IU/L menjadi 15 IU/L.
Peningkatan frekuensi pulsasi GnRH dari sekresi kadar rendah telah
dikaitkan dengan peningkatan selektif awal FSH pada beberapa model
eksperimental, termasuk monyet yang telah menjalani ovariektomi disertai dengan
perusakan hipotalamus. Terapi wanita-wanita hipogonad dengan GnRH pulsatil
pertama-tama menyebabkan dominansi sekresi FSH (dibandingkan LH). Respon
eksperimental ini serta perubahan-perubahan yang terjadi selama transisi
luteal-folikuler mirip dengan apa yang dijumpai selama pubertas, yaitu
predominasi sekresi FSH seiring dengan mulai meningkatnya sekresi GnRH
pulsatil.
Respon pituitari terhadap GnRH juga merupakan faktor. Estradiol menekan
sekresi FSH melalui hubungan umpan balik negatif klasiknya pada tingkat
pituitari. Penurunan estradiol pada fase luteal lanjut mengembalikan kemampuan
pituitari untuk merespon dengan peningkatan sekresi FSH.
Rangkuman Kejadian-kejadian Kunci pada Transisi Luteal-Folikuler
1. Kerusakan korpus luteum
menyebabkan terjadinya kadar nadir estradiol, progesteron, dan inhibin dalam
sirkulasi.
2. Penurunan inhibin-A menghilangkan
suatu pengaruh supresif pada sekresi FSH dalam pituitari.
3. Penurunan estradiol dan
progesteron memungkinkan peningkatan progresif dan cepat frekuensi sekresi GnRH
pulsatil dan penyingkiran pituitari dari supresi umpan balik negatif.
4. Pembuanga inhibin-A dan
estradiol dan peningkatan pulsasi GnRH bekerja sama memungkinkan sekresi FSH
yang lebih besar dibandingkan dengan LH, disertai dengan peningkatan frekuensi
sekresi episodik.
5. Peningkatan FSH bersifat
instrumental dalam menyelamatkan kurang lebih satu kelompok folikel yang sudah
siap yang berumur 70 hari dari atresia, sehingga memungkinkan sebuah folikel
yang dominan memulai kemunculannya.
2.5. Siklus Menstruasi Normal
Lama siklus menstruasi ditentukan oleh kecepatan dan kualitas
pertumbuhan dan perkembangan folikuler, dan variasi siklus pada wanita
individual adalah normal. lama siklus adalah yang paling pendek (dengan
variabilitas paling kecil) pada usia akhir 30an, saat dimana terjadi
peningkatan FSH yang samar-samar tetapi nyata dan penurunan inhibin. Hal ini
dapat digambarkan sebagai percepatan pertumbuhan folikuler (karena adanya
perubahan-perubahan dalam FSH dan inhibin-B). Pada saat yang sama, lebih
sedikit folikel yang bertumbuh tiap siklusnya seiring dengan bertambahnya usia
seorang wanita. Kurang lebih 2-4 tahun (6-8 tahun menurut Trelolar) sebelum
menopause, siklus akan memanjang lagi. Dalam 10-15 tahun terakhir sebelum
menopause, terdapat percepatan kehilangan folikuler. Kehilangan yang dipercepat
ini dimulai saat jumlah total folikel mencapai kurang lebih 25000, suatu jumlah
yang pada wanita normal dicapai pada usia 37-38 tahun. Akhirnya terjadi menopause karena asupan folikel telah mengalami
deplesi.
Perubahan-perubahan dalam tahun-tahun akhir masa reproduktif
mencerminkan kompetensi folikuler lebih rendah karena folikel-folikel
primordial yang lebih baik merespon lebih dini, meninggalkan folikel-folikel
yang kurang berkembang, atau kenyataan bahwa total pool folikuler berkurang jumlahnya (atau kedua faktor).
Hal yang mendukung adanya peranan bagi pool folikuler berkurang adalah pengamatan bahwa cairan
folikuler yang diperoleh dari folikel-folikel praovulatorik wanita-wanita yang
lebih tua mengandung jumlah inhibin-A dan –B yang serupa dengan apa yang diukur
dalam cairan folikuler dari wanita-wanita muda.
Variasi aliran dan lama siklus menstruasi sering terjadi pada masa-masa
ekstrim dari masa reproduktif, selama awal-awal masa remaja, dan beberapa tahun
sebelum menopause. Prevalensi siklus anovulatorik paling tinggi pada
wanita-wanita dibawah usia 20 tahun dan diatas usia 40 tahun. Menarche biasanya
diikuti oleh kurang lebih 5-7 tahun siklus yang relatif panjang yang
berangsur-angsur memendek dan menjadi lebih teratur. Walaupun karakteristik
siklus menstruasi umumnya tidak menunjukka perubahan besar selama masa
reproduktif, rata-rata panjang siklus dan variabilitas perlahan-lahan
berkurang. Rata-rata, panjang siklus rata-rata dan variabilitas mencapai
tingkat yang rendah pada usia sekitar 40-42 tahun. Selama 8-10 tahun
selanjutnya sebelum menopause, kecenderungan ini berbalik; baik rata-rata
panjang siklus dan variabilitas mengalami peningkatan tetap sejalan dengan
berkurangnya keteraturan dan frekuensi ovulasi. Rata-rata panjang siklus paling
besar pada wanita-wanita dengan massa dan komposisi tubuh yang ekstrim; baik
indeks massa tubuh yang tinggi dan rendah dikaitkan dengan peningkatan panjang
siklus rata-rata.
Secara umum, variasi dalam panjang siklus mencerminkan
perbedaan-perbedaan dalam lamanya fase folikuler dari siklus ovarium.
Wanita-wanita dengan siklus 25 hari mengalami ovulasi pada atau sekitar hari
10-12 siklus, dan mereka dengan siklus 35 hari mengalami ovulasi kurang lebih
10 hari kemudian. Dalam beberapa tahun setelah menarche, fase luteal menjadi
sangat konsisten (13-15 hari) dan tetap demikian sampai memasuki masa
perimenopause. Pada usia 25, lebih dari 40% siklus panjangnya adalah antara 25
dan 28 hari; sejak usia 25 sampai 35 tahun, lebih dari 60% siklus panjangnya
adalah antara 25 dan 28 hari. Walaupun merupakan interval menstruasi yang
paling sering dilaporkan, hanya sekitar 15% dari siklus pada wanita-wanita usia
reproduktif yang benar-benar berlangsung 28 hari. Kurang dari 1% wanita
mengalami siklus teratur yang berlangsung kurang dari 21 hari atau lebih dari
25 hari. Kebanyakan wanita mengalami siklus yang berlangsung selama 24 sampai
35 hari, tetapi setidaknya 20% wanita mengalami siklus ireguler.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Folikeluler awal. Perkembangan
folikuler awal terjadi lepas dari pengaruh hormon. Stimulasi FSH menyelamatkan
sebuah kohort folikel dari apoptosis, mendorong kohort folikel tersebut menuju
tahap preantral. Aromatisasi
androgen yang diinduksi oleh FSH dalam granulosa menyebabkan produksi estrogen. Bersama-sama, FSH
dan estrogen meningkatkan kandungan reseptor FSH dalam folikel dan merangsang
proliferasi sel-sel granulosa.
Produksi estrogen fase folikuler dijelaskan oleh mekanisme dua-sel, dua-gonadotropin,
memungkinkan pembentukan penting lingkungan mikro yang didominasi oleh
estrogen. Seleksi folikel dominan
terjadi selama hari 5-7, dan akibatnya, kadar estradio perifer mulai
menunjukkan peningkatan bermakna pada hari 7 siklus. Kadar estradiol, derivat dari
folikel dominan, meningkat tetap dan, melalui efek umpan balik negatif,
memberikan pengaruh supresif yang semakin besar pada pelepasan FSH.
Bersamaan
dengan menyebabkan penurunan kadar FSH, peningkatan estradiol pada fase
midfolikuler memberi pengaruh umpan balik positif pada sekresi LH. Kerja positif estrogen juga
meliputi modifikasi molekul gonadotropin, menyebabkan peningkatan kualitas
(bioaktivitas) maupun kuantitas FSH dan LH pada pertengahan siklus. Kadar LH meningkat tetap selama
fase folikuler lanjut, sehingga merangsang produksi androgen dalam teka dan
mengoptimalisasi maturasi akhir dan fungsi folikel yang dominan. Suatu responsivitas unik terhadap
FSH memungkinkan folikel dominan untuk mempergunakan androgen sebagai substrat
dan lebih lanjut mempercepat produksi estrogen. FSH menginduksi tampilnya
reseptor-reseptor LH pada sel-sel granulosa. Respon folikuler terhadap
gonadotropin dimodulasi oleh berbagai growth
factor dan
peptida autokrin-parakrin. Inhibin-B,
yang disekresi oleh sel-sel granulosa sebagai respon terhadap FSH, secara
langsung menekan sekresi FSH pituitari. Aktivin, yang berasal dari
pituitari maupun granuloa, memperbaiki sekresi dan kerja FSH. IGF mendorong semua kerja FSH dan LH.
Produksi estrogen menjadi cukup untuk mencapai dan mempertahankan
konsentrasi ambang batas perifer estradiol yang diperlukan untuk menginduksi
peningkatan tajam LH. Dengan bekerja melalui
reseptornya, LH menginisiasi luteinisasi dan produksi progesteron dalam lapisan
granulosa. Peningkatan progesteron praovulatorik memfasilitasi
kerja umpan balik positif estrogen dan mungkin diperlukan untuk menginduksi
pemuncakan FSH pada pertengahan siklus. Terjadi peningkatan androgen lokal dan perifer pada pertengahan siklus,
derivat dari jaringan teka dari folikel-folikel yang gagal dan kurang
berkembang.
Fungsi luteal normal memerlukan perkembangan folikuler praovulatorik yang optimal (terutama stimulasi FSH yang
adekuat) dan adanya dukungan FSH tonik secara kontinyu. Fase luteal dini ditandai oleh
angiogenesis aktif yang dimediasi oleh VEGF. Pertumbuhan pembuluh darah baru
diatur oleh angiopoietin-1 yang bekerja melalui reseptornya yaitu Tie-2 pada
sel-sel endotel. Regresi korpus luteum dikaitkan dengan penurunan ekspresi VEGF dan
angiopoietin-1 dan peningkatan aktivitas angiopoietin-2. Progesteron, estradiol, dan
inhibin-A bekerja secara sentral untuk menekan gonadotropin dan pertumbuhan
folikuler baru. Regresi
korpus luteum dapat melibatkan kerja luteolitik dari produksi estrogennya
sendiri, dimediasi oleh perubahan dalam konsentrasi prostaglandin lokal dan
melibatkan nitrit oksida, endotelin, dan faktor-faktor lain. Pada masa-masa awal kehamilan,
hCG menyelamatkan korpus luteum, mempertahankan fungsi luteal sampai
steroidogenesis plasenta telah terjadi.
Transisi Luteal-Folikuler. Kerusakan korpus luteum
menyebabkan terjadinya kadar nadir estradiol, progesteron, dan inhibin dalam
sirkulasi. Penurunan inhibin-A
menghilangkan suatu pengaruh supresif pada sekresi FSH dalam pituitari. Penurunan estradiol dan progesteron
memungkinkan peningkatan progresif dan cepat frekuensi sekresi GnRH pulsatil
dan penyingkiran pituitari dari supresi umpan balik negatif. Pembuanga inhibin-A dan estradiol
dan peningkatan pulsasi GnRH bekerja sama memungkinkan sekresi FSH yang lebih
besar dibandingkan dengan LH, disertai dengan peningkatan frekuensi sekresi
episodik. Peningkatan FSH bersifat
instrumental dalam menyelamatkan kurang lebih satu kelompok folikel yang sudah
siap yang berumur 70 hari dari atresia, sehingga memungkinkan sebuah folikel
yang dominan memulai kemunculannya.
3.2. Saran
·
Perlunya
pengkajian yang lebih mendalam lagi tentang masalah regulasi endokrin dalam menstruasi.
·
Penerapan
konsep pembelajaran endokrinolgi dalam kehidupan sehari-hari.
·
Keberadaan
referensi dan acuan sumber pembelajaran yang lebih sistematis dan rinci.
DAFTAR PUSTAKA
Greenstein B, Wood DF. 2010. At
a Glance : Sistem Endokrin. Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta
Heffner, LJ dan Schust, DJ.
2010. At a Glance : Sistem Reproduksi. Edisi 2. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Speroff, L, Robert H.
Glass, Nathan G. Kase. 1999. Clinical Gynecologic Endocrinology and
Infertility 6th ed: Lippincott Williams & Wilkins
Sherwood, L. 2012. Fisiologi
Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar